Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Kedua Syawal

7 Juli 2016   09:04 Diperbarui: 7 Juli 2016   10:07 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saudara-saudara dari keluarga istri datang, berdatangan. Hebat-hebat. Memang mereka dari keluarga berketurunan darah biru. Namun dari keluarga bapaknya, banyak yang mblangsak. Hidup terlunta di Jakarta, dan minggir entah ke Tangerang atau Bekasi. Umumnya kedua wilayah itu.

                “Sudah ke mana saja, Mas?” tanya sepupu istri, lelaki bertubuh tingi besar dan bekerja di ertambangan.

                “Ya, keluarga besan dan mertua saja.”

                “Oh.”

                Lalu pembicaraan seperti biasa. Membosankan. Mereka orang-orang hebat, namun minus untuk soal well inform. Bacaannya payah, payah sekali. Meski gadgetnya kinclong-kinclong dan harga di kisaran dua juta ke atas. Cukup dengan sentuhan, muncul semua sesuai perintah.

                “Di sini kana da wanita hebat, paling pintar dan paling benar….”

                Mereka tertawa.

                “Mungkin rumah besar ini akan roboh kalau tak ada dia. Yang mempertahankan mati-matian.”

                “Ya, mestilah, Mas. Ini kan peninggalan Bude….”

                “Itulah. Mbakyumu itulah yang pintar ….”

                Tamu-tamu pun berseliweran. Datang dan pergi. Sampai kemudian sepi. Aku ditinggal istri yang ikut mereka. Entah ke mana. Bisa sambil memesan minuman satu gelas empat puluh ribu dengan mobil tidak dimatikan mesinnya. Yang katanya jauh-jauh daripada es dawet ayu yang segelasnya hanya lima ribu rupiah.

                “Capuccino, dong!” seru istri di antara anak-anak kami yang memanjakan. Aku hanya menggeleng kalau ditawari minuman seharga empat liter beras itu. Selalu.

                Aku di rumah dikepung kupat yang digantung dan mulai membau. Meler. Karena sudah hari kedua dan lebih dari tiga puluh enam jam. Begitupun sambal goreng dan opor yang dagingnya sudah melepaskan diri dari tulang-tulangnya.

                “Bagaimana aku menghabiskannya?” keluhku. Padahal, kemarin hari pertama lebaran, delapan kupat sudah kuberikan kepada tetangga, dan sempat diprotes anak: aku kan belum makan! Faktanya sekarang masih sisa. Dan kemarin sepanjang menuju rumah orang-orang dari keluarga istri yang perlu didatangi, seperti biasa istri dan anak ramai-ramai memebeli makanan dan minuman tanpa mematikan mesin. Jalan melingkar, dan cukup memesan lewat Drive Thru!

                “Lebaran ada yang salah!” kubaca di sebuah online.

                Aku bingung. Namun kuikuti. Benar. Kalau lebaran hanya untuk pesta. Memasak daging yang dikeluhkan seharga seratus empat puluh ribu rupiah per kilogramnya, dan kemudian ditelantarkan setelah dimasak sebagai rendang yang disebut masakan paling enak di dunia.

                Teringat salah satu ajaranku bahwa tidak boleh membiarkan makanan, mubazir, aku makan sendirian. Dari rendang, sambal goreng, emping, sirop merah yang disebut minuman para bangsawan seperti yang dibanggakan keluarga istriku tandas. Terus-menerus. Di rumah. Sampai perutku pecah!

Dan terburai ususku yang mengular. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun