“Capuccino, dong!” seru istri di antara anak-anak kami yang memanjakan. Aku hanya menggeleng kalau ditawari minuman seharga empat liter beras itu. Selalu.
Aku di rumah dikepung kupat yang digantung dan mulai membau. Meler. Karena sudah hari kedua dan lebih dari tiga puluh enam jam. Begitupun sambal goreng dan opor yang dagingnya sudah melepaskan diri dari tulang-tulangnya.
“Bagaimana aku menghabiskannya?” keluhku. Padahal, kemarin hari pertama lebaran, delapan kupat sudah kuberikan kepada tetangga, dan sempat diprotes anak: aku kan belum makan! Faktanya sekarang masih sisa. Dan kemarin sepanjang menuju rumah orang-orang dari keluarga istri yang perlu didatangi, seperti biasa istri dan anak ramai-ramai memebeli makanan dan minuman tanpa mematikan mesin. Jalan melingkar, dan cukup memesan lewat Drive Thru!
“Lebaran ada yang salah!” kubaca di sebuah online.
Aku bingung. Namun kuikuti. Benar. Kalau lebaran hanya untuk pesta. Memasak daging yang dikeluhkan seharga seratus empat puluh ribu rupiah per kilogramnya, dan kemudian ditelantarkan setelah dimasak sebagai rendang yang disebut masakan paling enak di dunia.
Teringat salah satu ajaranku bahwa tidak boleh membiarkan makanan, mubazir, aku makan sendirian. Dari rendang, sambal goreng, emping, sirop merah yang disebut minuman para bangsawan seperti yang dibanggakan keluarga istriku tandas. Terus-menerus. Di rumah. Sampai perutku pecah!
Dan terburai ususku yang mengular. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H