Sore di ujung Ramadhan. Gerimis, meski tak gelap tanah. Senja belum genap karena suara adzan Maghrib tanda kumandang waktu berbuka tiba belum bergema.
Duduk di bangku kayu panjang, menatap tetes-tetes air dari langit, begitu sempurna keindahan sore ini. Sepertinya menanti malaekat akan turun mengabarkan satu Syawal akan tiba.
“Kausudah siap?”
Pertanyaan entah dari mana datangnya itu, tak bisa kujawab. Aku hanya bisa mencatat. Tak bisa membelikan baju baru kepada istri. Ya, kepada wanita yang telah melahirkan empat orang anak dan semua sudah besar. Bahkan satu sudah menikah dan memberiku seorang cucu cerdas melebihi anak-anakku dulu seusianya.
“Hanya satu baju?” tanyanya, dua puluh lima tahun lalu lebih.
“Ya.”
“Menyedihkan.”
Memang. Aku hanya mampunya membelikan satu baju untuk anakku pertama, ketika ia berusia dua setengah tahun. Dan anakku tak memprotes. Ia senang-senang saja mendapatkan baju putih dengan di dada kirinya ada bunga dan renda wanita menyerupai boneka.
Ah, sekelebatan sudah hampir tiga puluh tahun lebaran itu. Dan kini aku mempunyai anak cucu seusia ibunya, anakku pertama waktu itu. Dan aku sama sekali tak mampu membelikan baju untuknya. Ibunya tak protes. Karena ia mampu membelikan baju anaknya, lebih dari satu baju. Dan nilainya tentu jauh lebih besar daripada ketika ia kubelikan satu-satunya baju saat aku mengontrak rumah petak di daerah becek di pinggiran Jakarta sebelum seperti sekarang yang semua jalan-jalan dan gang kecilnya sudah dibeton.
Lampu padam. Ya, menjelang Maghrib. Indahnya. Dan aku masih duduk di bangku panjang. Lalu, lamat-lamat kudengar suara adzan Maghrib sekaligus pertanda untuk berbuka. Saat itu, ke langit gebyar kembang api.
“Sempurna!” desisku.