Aku menghela nafas. Sesekali hanya bisa menundukkan kepala. Dan tak kutemukan apa-apa di lantai Stasiun Jatinegara itu, semisal uang lembaran merah yang mungkin bisa membuatku pesta dengan membeli minuman di gerai deretan di Stasiun ini. Setidaknya untuk mengguyur pening memikirkan wanita-wanita cantik yang baru saja ketemukan. Sekaligus SMS penggoda plus mengejekku habis-habisan. Duh!
“Mas TS ...suka galau, ya?”
Aku mengernyitkan kening. Tapi tak mencoba untuk mencari-cari di sekitar. Setidaknya kiri atau kanan, di mana suara itu menyerupai “Okay!” si dengkul putih. Pandanganku ke depan, lurus. Dan tetap menemukan orang-orang bersliweran dengan tidak fokus. Seperti bayang-bayang baur. Masih seperti tadi.
Aku mengernyitkan kening, ketika tangan kiriku diambil telapak tangan lembut, dan menyeretku. Ah, persisnya, menuntunku dan melabuhkan di ...dengkul putih kaki jenjang terbungkus jeans bolong di sebelah kanan, sendirian.
“Hai ....Mas TS....”
Glek.
Aku menelan ludah.
“Nggak usah bingung ...,” desisnya dibarengi senyum sekelas Roro Mendut, gadis yang menjilati ujung rokok untuk dijual kepada laki-laki yang membutuhkannya. Wanita berbibir basah yang membuat resah Tumenggung yang mesti mengajak duel Pronocitro laki-laki yang dicintai habis-habisan demi mendapatkannya.
Ia mengerdip-ngerdipkan matanya yang bagus, dan sepanjang kuperhatikan di kereta tadi asyik dengan gadgetnya.
“Kenapa bisa?”
“Kenapa Mas TS jadi pengarang gombal? Hayo!”