Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sepasang Dengkul Putih

17 Juni 2016   07:18 Diperbarui: 17 Juni 2016   10:57 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siake! Siapa pula ini.

Aku belum menjawab, pintu kereta terbuka dan masuk dari Pondok Jati seorang ibu muda. Bisa disebut ibu muda bukan seperti si dengkul putih karena ia menenteng seorang anak laki-laki cakep seusia sekira empat tahun. Maka refleks, aku hendak melambai ke  arahnya untuk duduk di tempatku. Ini memang kebiasaanku tanpa perlu dipengaruhi pengumuman di commuter line, bahwa memberikan kepada orang-orang yang lebih memerlukan tempat duduk (Ibu hamil, penyandang disabilitas, orang membawa anak balita). Apalagi, ia membawa seorang anak.

“Nggak usah sok pahlawan. Duduk saja!”

SMS masuk, dan membuatku menempeleng keningku sendiri. Siake. Ia berada di sini pula rupanya. Dan, ah! Kenapa ia tak punya sifat kemanusiaan sepertiku. Untuk memberikan kesempatan kepada wanita penenteng anak laki-laki yang tampak asyik menikmati perjalanan yang tinggal sepotong karena Stasiun Jatinegara adalah akhir dari perjalanan commuter line dari Bogor yang melingkar-lingkar melewati Manggarai, Tanah Abang, Angke, Kampung Bandan, Gang Sentiong hingga Jati negara?

Stasiun Jatinegara pun sudah nongol, ditandai dengan deretan lampu-lampunya. Wanita pemegang gadget di sebelahku segera meninggalkan dan menyapa wanita yang menenteng anak laki-laki. Tampak begitu akrab, mesra dan ...sialan. Tak memberiku, sama seperti si dengkul putih, cantik dan anting-antingnya yang bergoyang-goyang mengikuti irama kereta warga.

“Aku bukan laki-laki beruntung ....”

Aku turun, dan membiarkan orang-orang bergegas untuk ke luar pintu Stasiun Jatinegara atau mereka yang akan melanjutkan perjalanan ke arah timur Bekasi sepertiku. Atau mungkin ke Manggarai.

Kletek.

Aku pun selonjor duduk di bangku panjang sepi dan dingin karena dari logam. Sunyi. Sendirian.

Ini benar-benar perjalanan singkat yang paling mengerikan. Menemukan sepasang dengkul putih berjeans hitam ketat tapi bolong persis di tempurung kakinya. Juga temannya yang turun bareng, sepadan cantiknya. Lalu orang iseng SMS yang tak kuketahui siapa gerangan dia! Pun ia tahu gerak-gerikku, dan sekaligus meneror: Nggak usah sok pahlawan. Anda TS, pengarang gombal.

Pengumuman bersliweran dari operator Stasiun Jatinegara. Sayangnya, bukan suara empuk yang sempat membuatku terlena*. Orang-orang bersliweran di depanku atau jauh di depanku sana. Apa peduliku. Sehingga mereka tampak seperti bayang-bayang baur. Orang-orang bergegas. Orang-orang dengan aktivitasnya. Entahlah siapa mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun