PUKUL 12.23 Wib, TS dan Isson tiba di terminal bis Cilegon, Sabtu lalu. Tak lama sebuah mobil sedan hitam, berhenti sekira 20 meter, dan HP berdering. Kupikir inilah Kang Tisna yang berjanji untuk menjemput. Meski Isson ragu, mengingat selama ini lelaki itu – selama acara bedah buku Kang Nasir – menggunakan mobil jenis SUV warna perak.
“Saya pakai mobil hitam, Kang Thamrin....”
Tak ragu, saya dan Isson berjalan maju mendekati mobil sedang hitam itu. Dan ia, sohib Kompasianer Much Nasir muncul, trus menyongsong kami dan menyalami. Kesantunan seorang, yang memang punya jatah khotbah di masjid-masjid di Kota Baja.
Ketemu Laura, Kompasianer Cilegon
Ah, itulah yang terasakan dalam perburuan di bulan Ramadan atau undangan Kang Tisna ke Cilegon kali ini. Seolah-olah mereka merasa kurang menghormati saya dan Isson, apa daya saat siang adalah puasa. “Kan musafir, boleh. Nah, kalau sudah Kang Thamrin dan Kang Isson ngopi, ya kami tuan rumah menghormari ikut nyeruput juga dibenarkan,” kata Kang Tisna yang kerap dipanggil Ustaz.
Mestinya, itu jam ngabuburit. Artinya, ya berada di sebuah tempat seraya menuggu waktu berbuka puasa. Namun kali ini, saya berbagi dengan Isson untuk mengambil gambar di Pendopo yang para lelakinya mengenakan baju koko dan kopiah – bisa tak mesti hitam. Para ibu-ibunya, juga berbaju gamis, segera lesehan. Menunggu tausiah dan Ketua DPR Dr. Ade Komaruddin (Akom) yang sedang urusan tugas juga, di Serang – sekira 16 km dari Cilegon. Ya, ditemani Ketua DPRD Cilegon Ir. H. Fakih Usman dan Walikota Cilegon Iman Ariyadi.
“Islam itu rahmatan lil alamin ...,” tausiah Kyai, bukan Kang Tisna. Ya, karena ia sibuk terus menerima tamu yang mengalir. Atau sesekali berkomunikasi dengan dua orang penting yang akan berbuka puasa di Pendopo – bekas Kawedanan di mana tercatat sebagai tempat sejarah Pemberontakan Petani Banten tahun 1888 seperti ditulis Sartono Kartodidjo, sejawan terkenal dari UGM.