Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Mendadak Religius

8 Juni 2016   06:46 Diperbarui: 8 Juni 2016   16:50 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Commmuterline berangkat dari Stasiun Jatinegara (dokpri)

“Menarik.”

Aku yang  berada di belakang sisi kanan dan menyerong, melihat betul tingkah gadis berbaju kotak dengan tubuhnya yang proporsional. Kalau tinggi badanku 172 cm, ia kutaksir 166 atau 167 cm. Klop. Meski itu taksiranku. Karena, ia jelas tak bisa melihat wajahku secara langsung. Bukankah aku di belakangnya? Juga selurus ke sisi kanan di mana ada kaca tempat ia mematut-matut diri adalah bukan kaca. Tepatnya dinding yang tidak memantulkan wajahku. Hm, aku menang.

Kereta berjalan agak liar. Mungkin masinis ingin segera tiba di tujuan akhir dan sedikit melepas penat. Tidak meminum seperti gadis berbaju kotak dengan tangan kirinya, sekali-kali. Isi gelas plastik itu berwarna kuning. Mungkin jus... ah, sotoy. Aku kan mendapatkannya di atas kereta, entah dia naik dari Manggarai atau Stasiun sebelumnya, Cikini atau Gondangdia misalnya.

Bibirnya tampak basah. Karena ia sesekali mengelap dengan punggung tangan kirinya yang memegang gelas itu. Tangan kanannya masih bergelantungan. Tatapannya ke depan. Senyum-senyum, ditahan. Ah, ia patut disebut gadis yang senang dengan memandangi wajahnya sendiri. Mungkin narsis, istilahnya. Atau, setidaknya ia perlu menghibur diri. Sambil berdiri di depan deret para wanita yang duduk sambil menikmati minuman berbuka. Atau sebagian bermain dengan gadget-nya.

“Sial...,” gerutuku sendiri. Ini memang keburukanku. Termasuk kenapa segera melupakan suara empuk dan kata-kata tertata di Stasiun Jatinegara sehingga mengelus hatiku itu. Aku tadi berpikir ingin menikahi orang bersuara empuk dan tata bahasanya yang indah. Terutama saat memberitahukan kepada kami pengguna Commuter Line bahwa sudah tiba saatnya berbuka. Dengan bahasa yang tidak langsung.

“Hati-hati, pintu akan segera ditutup.....”

Aku segera menempati tempat duduk di ujung kanan deret gadis berbaju kotak-kotak itu. Entah mengapa ia tak ingin mengambil kesempatan itu. Padahal memungkinkan. Aku ambil saja. Kupikir, aku ingin memandang langsung wajahnya. Meski agak menyamping. Namun setidaknya, bisa melihat benar. Apakah ia berjerawat atau tidak. Hidungnya tinggi apa tidak, mengingat sudut pandangku dari sisi kanannya. Rambutnya yang lurus itu simetris apa tidak. Dan ....

Aku tidak ingin bersirobok dengannya.

“Sial,” mestinya, aku beradu pandang dengannya, gumamku. Dan sementara aku tatap di depanku, sepasang makhluk yang memunggungiku, bercanda dengan cara yang kelewatan. Masak, si gadis memain-mainkan kuping laki-laki yang kalau aku berdiri dengan gadis berbaju kotak-kotak itu serasi. Klop.

“Sial!” Ya, bagaimana aku tak iri. Gadis itu tidak hanya mengelus telinga lelaki yang berdiri di sampingnya. Kadang menarik-narik ujung bawahnya. Sesekali memasukkan ke lubangnya. Sehingga si lelaki menggelinjang. “Ini pemandangan tidak sehat...!”

Benar. Apalagi ketika si gadis baju kotak-kotak itu bersirobok denganku kali kedua. Bibirnya dikatupkan kuat-kuat. Seperti tak senang aku memperhatikan gadis yang memain-mainkan kuping pacarnya. Ya, mana mungkin itu diperlakukan oleh sepasang suami-istri. Mesra benar di tempat umum. Kecuali orang yang sedang kasmaran meski ini sudah bukan waktu siang, waktunya puasa. Boleh memain-mainkan telinga kekasihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun