Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan via Digital, Gerakan Budaya Baru untuk Negeri 17. 000 Pulau

28 Mei 2016   03:43 Diperbarui: 28 Mei 2016   08:42 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MESTI dan harus diakui dengan jujur. Perihal pendidikan di negeri ini, awut-awutan, masih centang perenang. Atau paling tidak belum tertata dengan baik. Sehingga pemeo ganti menteri ganti kebijakan tak terelakkan.  Dua puluh persen, seperti yang diwajibkan dalam Undang-undang, di wilayah mana yang sudah menafkahisecarapenuhsehingga soal ini menjadi beres dan berdampak kepada anak didik kita? Tak banyak. Kurang. Yang ada justru para pejabat terasnya di wilayah yang mestinya digugu dan ditiru itu amat ber“Potensi Korupsi di Sekolah dan Dinas” (KOMPAS, 19 Mei 2016).

Laporan tentang korupsi di wilayah (tak) mendidik ini, mencengangkan. Sungguh. Betapa 20 persen dana pendidikan yang kurang itu masih dikorupsi, oleh karenanya apa hasilnya? Seperti baru 32 persen SMA/SMK Laporkan DAK (Dana Alokasi Khusus). Tentu, termasuk BOS (Bantuan Operasi Sekolah) yang menggoda untuk diambil secara tak sah.  Sementara dalam rentang sepuluh tahun, seperti dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2006-2015 tercatat 425 kasus korupsi dengan tersangka 618 orang. Uang yang digangsir pun tak kecil: 1,3 triliun rupiah.

Untuk Menjadi Indonesia, termasuk yang di Timur

Negeri dengan tujuh belas ribu pulau lebih ini, terdiri atas wilayah yang tersebar di lebih 560 kota kabupaten. Dengan tak berjalannya atau terseok-seoknya pendidikan negeri ini, kita jelas,masih membutuhkan uluran tangan dan kepemimpinan yang mumpuni. Persis penggalan: “Kita memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membuka perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru, dan menyalakan harapan lebih terang. Pemimpinan yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan, untuk bekerja sama meraih cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan perbuatannya menjadi pesan solid yang dijalankan secara kolosal,” tulis Anies Baswedan dalam Memimpin dari Kancah Indonesia (Menjadi Indonesia, 2012).

Memasuki milenium ketiga, adalah kehidupan bersama antarumat manusia yang semakin menjadi masyarakat dunia, masyarakat global. Kita mengenali jaringannya: ekonomi keuangan, produksi, perdagangan, transportasi, mobilitas penduduk dan teknologi informasi. Dan negeri dengan penduduk 257 juta jiwa ini masih banyak yang hanya lulusan SD dan SMTP, selain masih ada yang Buta Aksara. Angka pengangguran Perguruan Tinggi pun cukup tinggi, karena tak segaris lurus antara keahlian dan kebutuhan pasar. Dan lapangan pekerjaan yang masih tak seimbang.  

Kontribusi macam apa ketika perihal negara dan bangsa ini berkait dengan masalah pendidikan yang tak sekadar mengantongi gelar sarjana dengan stratanya itu? Jika menilik geografi negeri ini, dan kita tak bisa lagi menafikan kehadiran teknologi informasi, maka dibutuhkan terobosan dari para pemikir garis depan dari jiwa-jiwa pendidik. Apa yang dilakukan dan digerakkan oleh Anies Baswedan dengan Gerakan Inonesia Mengajar, masih perlu kepanjangan dengan adanya teknologi yang bisa menjangkau sekaligus memeratakan pendidikan negeri ini di wilayah mana pun.

Gerakan Indonesia Mengajar yang memasuki angkatan keempat (berdasarkan catatan yang ada, tahun 2012) mencapai 15. 000 orang meminati sebagai tenaga pengajar, meski kemudian hanya 200 orang yang dipilih untuk ditempatkan di 130 lebih desa di 16 kabupaten. Angka ini masih kurang, tentu. Meski benar seperti menggugah kegotong-royongan sebagaimana filosofi bangsa ini, namun kehadiran teknologi mestinya menjadi pendamping yang bisa menyeluruh.

Lalu jika kita catat lagi apa yang digerakkan oleh Prof. Yohanes Surya (disebut Bapak Pendidikan Fisika Indonesia), di mana ia memiliki visi merealisasikan Indonesia jaya pada tahun 2030, Indonesia mandiri, sehat, adil makmur, dan menghargai kebhinekaan. Di mana ia menyiapkan guru-guru untuk daerah tertinggal dengan 30. 000 mahasiswa dilatih menjadi guru global berkualitas untuk mengubah daerah tertinggal menjadi daerah maju. Dan ia sudah melakukan di wilayah Papua yang distigmakan sebagai daerah minus. “Memang melelahkan. Namun inilah harga yang harus dibayar,” tandasnya.

Program PJJ S1-PGSD Unika Atma Jaya, bisa dibilang menjadi salah satu pertanda sebuah gerakan ini. Di mana Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), tahun 2013, telah membantu Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dengan 244 guru bisa menyelesaikan pendidikan S1. Ini sebuah jawaban atas kerumitan yang ditawarkan Unika Atma Jaya yang berada di Jakarta. “Kami melakukan Blended System, ada tatap muka ada yang menggunakan teknologi,” ujar Dr. Luciana M.Ed, Wakil Dekan1 Fakultas Pendidikan dan Bahasa (FPB).   

Dari data pengguna internet yang bisa kita akses, lumayan menakjubkan: 88,1 juta (lihattabel). Di kisaran lebih sepertiga penduduk wilayah negeri ini. Namun, dari jumlah itu seberapa banyak yang menggunakan untuk mencari dan melihat perkembangan ilmu pengetahuan? Persisnya: belajar! Masih dibutuhkan riset mendalam. Mengingat sudah ratusan bahasa tutur negeri ini menghilang.

wearesocial-2016-indonesia-217-5748f777337b61b20f7fa824.png
wearesocial-2016-indonesia-217-5748f777337b61b20f7fa824.png
ananto.digital.com 

MenggantangAsap

Terobosan pendidikan, dengan geografi seperti wilayah Indonesia, barangkali dibutuhkan hal yang cerdas dan sekaligus cergas. (Ujian dengan berbasis komputer, sudah mulai kita lakukan). Mengingat kita sudah lama tertinggal, dari indikasi masyarakat kita belum membaca secara baik. Di mana UNESCO per 2012 menyebutkan, hanya satu orang dari seribu orang yang membaca buku. Ini masalah klasik. Daya beli dan ketersediaan materi ilmu pengetahuan yang minim. Meski dengan adanya “e-resouces” yang diadakan Perpustakaan Nasional sejak lima tahun lalu, siapa pun bisa mengakses ribuan bacaan secara gratis yang bisa disebut sumber elektronik tak berbayar sebagai andalan ke depan.

Juga komitmen BUMN HadiruntukNegeri bagi dunia Pendidikan Indonesia menjadi pelengkap lain. Mengingat program yang mendukung Taman Bacaan Masyarakat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) untuk menyediakan Pustaka Digital yang disingkat PaDi di 1. 000 lokasi wilayah negeri ini. Tak pelak, “PaDi merupakan inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan yang menghadirkan akses gratis bagi seluruh masyarakat terhadap pustaka.”  

Dan adanya teknologi informasi (TI) akses ini, sudah selazimnya kita memperlakukannya secara maksimal untuk pendidikan warga negeri. Singkatnya pendidikan dengan basis internet layak dijadikan tambahan percepatan pendidikan kita. Mengingat angka dan aspek-aspek ekonomi negara yang belum maksimal – di samping persoalan mental tak mendidik itu.

Hiruk-pikuk data pengetahuan dari Wikipedia, misalnya,  baru sebuah data. Di mana ia bisa disebut telah membagi pengetahuan. Mengingat pendidikan, juga mebutuhkan tahapan-tahapan dan “bimbingan”. Sebuah keniscayaan. Selain, ekonomi yang berbeda antara daerah Indonesia Barat dan Timur, yang njomplang. Sehingga gawai, justru bisa kian mengangakan jurang pemisah: modernitas dan kemunduran. Satu-satunya jalan, diberi kesempatan agar gawai (dan isinya) menjadi alat percepatan pendidikan tak ansich.

Huraka Edu, sudah benar di jalannya yang diambil. Bila sudah “menyediakan” diri dengan Sumber Daya Manusianya dan sistem yang ditawarkan. Sehingga dari mana warga negeri ini bisa belajar, di mana pun dan kapan pun. Meski dengan kelemahan-kelemahan belum tersambung dan meratanya fasilitas teknologi berbasis ini. Lalu keterbatasan-keterbatasan yang berkait dengan masalah apa yang bisa ditawarkan secara universal bagi keberagaman Indonesia kaya. Meski ujungnya, tetap kedisiplinan untuk belajar cara E-Learning.  Mengingat konsen HarukaEdu menyediakan pendidikan berkualitas yang dapat diakses semua orang melalui internet – dengan mengunduh video, audio, transkrip, dan presentasi dalam Learning Management System (LMS).  “Perlu kedisiplinan untuk menuntaskan studi,” tandas Novistiar Rustandi, CEO dan  salah seorang pendiri HurakuEdu dalam acara nangkring Kompasiana, 30 April 2016.

Kita jadi mengevaluasi. Dan kita akan menempuh jalan – yang memang masih berkelok – dan sudah semestinya bisa membimbing ke jalan yang lebih berarti. Kita tak menggantang asap dengan angka-angka jumlah penduduk terbesar keempat di dunia sebagai modal. Proses ini sebagai kapital/ modal budaya, ekonomi, finansial dan simbolik (meminjam konsep kapital Pierre Bourdieu, 1986). Meski dalam soal pendidikan, semisal kita menjebol tembok empat dinding yang tak mengenal batas. Ini bisa kita pinjam kalimat bertenaga budayawan Goenawan Mohamad:   “Menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.”

Pendidikan dengan berbasis TI, rasanya baru kita rambah. Kelak ada perbaikan seiring perkembangan zaman dan teknologi bagian dari perjalanan budaya bangsa ini untuk semesta alam raya bernama Indonesia. Semoga. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun