MESTI dan harus diakui dengan jujur. Perihal pendidikan di negeri ini, awut-awutan, masih centang perenang. Atau paling tidak belum tertata dengan baik. Sehingga pemeo ganti menteri ganti kebijakan tak terelakkan. Dua puluh persen, seperti yang diwajibkan dalam Undang-undang, di wilayah mana yang sudah menafkahisecarapenuhsehingga soal ini menjadi beres dan berdampak kepada anak didik kita? Tak banyak. Kurang. Yang ada justru para pejabat terasnya di wilayah yang mestinya digugu dan ditiru itu amat ber“Potensi Korupsi di Sekolah dan Dinas” (KOMPAS, 19 Mei 2016).
Laporan tentang korupsi di wilayah (tak) mendidik ini, mencengangkan. Sungguh. Betapa 20 persen dana pendidikan yang kurang itu masih dikorupsi, oleh karenanya apa hasilnya? Seperti baru 32 persen SMA/SMK Laporkan DAK (Dana Alokasi Khusus). Tentu, termasuk BOS (Bantuan Operasi Sekolah) yang menggoda untuk diambil secara tak sah. Sementara dalam rentang sepuluh tahun, seperti dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2006-2015 tercatat 425 kasus korupsi dengan tersangka 618 orang. Uang yang digangsir pun tak kecil: 1,3 triliun rupiah.
Untuk Menjadi Indonesia, termasuk yang di Timur
Negeri dengan tujuh belas ribu pulau lebih ini, terdiri atas wilayah yang tersebar di lebih 560 kota kabupaten. Dengan tak berjalannya atau terseok-seoknya pendidikan negeri ini, kita jelas,masih membutuhkan uluran tangan dan kepemimpinan yang mumpuni. Persis penggalan: “Kita memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membuka perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru, dan menyalakan harapan lebih terang. Pemimpinan yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan, untuk bekerja sama meraih cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan perbuatannya menjadi pesan solid yang dijalankan secara kolosal,” tulis Anies Baswedan dalam Memimpin dari Kancah Indonesia (Menjadi Indonesia, 2012).
Memasuki milenium ketiga, adalah kehidupan bersama antarumat manusia yang semakin menjadi masyarakat dunia, masyarakat global. Kita mengenali jaringannya: ekonomi keuangan, produksi, perdagangan, transportasi, mobilitas penduduk dan teknologi informasi. Dan negeri dengan penduduk 257 juta jiwa ini masih banyak yang hanya lulusan SD dan SMTP, selain masih ada yang Buta Aksara. Angka pengangguran Perguruan Tinggi pun cukup tinggi, karena tak segaris lurus antara keahlian dan kebutuhan pasar. Dan lapangan pekerjaan yang masih tak seimbang.
Kontribusi macam apa ketika perihal negara dan bangsa ini berkait dengan masalah pendidikan yang tak sekadar mengantongi gelar sarjana dengan stratanya itu? Jika menilik geografi negeri ini, dan kita tak bisa lagi menafikan kehadiran teknologi informasi, maka dibutuhkan terobosan dari para pemikir garis depan dari jiwa-jiwa pendidik. Apa yang dilakukan dan digerakkan oleh Anies Baswedan dengan Gerakan Inonesia Mengajar, masih perlu kepanjangan dengan adanya teknologi yang bisa menjangkau sekaligus memeratakan pendidikan negeri ini di wilayah mana pun.
Gerakan Indonesia Mengajar yang memasuki angkatan keempat (berdasarkan catatan yang ada, tahun 2012) mencapai 15. 000 orang meminati sebagai tenaga pengajar, meski kemudian hanya 200 orang yang dipilih untuk ditempatkan di 130 lebih desa di 16 kabupaten. Angka ini masih kurang, tentu. Meski benar seperti menggugah kegotong-royongan sebagaimana filosofi bangsa ini, namun kehadiran teknologi mestinya menjadi pendamping yang bisa menyeluruh.
Lalu jika kita catat lagi apa yang digerakkan oleh Prof. Yohanes Surya (disebut Bapak Pendidikan Fisika Indonesia), di mana ia memiliki visi merealisasikan Indonesia jaya pada tahun 2030, Indonesia mandiri, sehat, adil makmur, dan menghargai kebhinekaan. Di mana ia menyiapkan guru-guru untuk daerah tertinggal dengan 30. 000 mahasiswa dilatih menjadi guru global berkualitas untuk mengubah daerah tertinggal menjadi daerah maju. Dan ia sudah melakukan di wilayah Papua yang distigmakan sebagai daerah minus. “Memang melelahkan. Namun inilah harga yang harus dibayar,” tandasnya.
Program PJJ S1-PGSD Unika Atma Jaya, bisa dibilang menjadi salah satu pertanda sebuah gerakan ini. Di mana Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), tahun 2013, telah membantu Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dengan 244 guru bisa menyelesaikan pendidikan S1. Ini sebuah jawaban atas kerumitan yang ditawarkan Unika Atma Jaya yang berada di Jakarta. “Kami melakukan Blended System, ada tatap muka ada yang menggunakan teknologi,” ujar Dr. Luciana M.Ed, Wakil Dekan1 Fakultas Pendidikan dan Bahasa (FPB).
Dari data pengguna internet yang bisa kita akses, lumayan menakjubkan: 88,1 juta (lihattabel). Di kisaran lebih sepertiga penduduk wilayah negeri ini. Namun, dari jumlah itu seberapa banyak yang menggunakan untuk mencari dan melihat perkembangan ilmu pengetahuan? Persisnya: belajar! Masih dibutuhkan riset mendalam. Mengingat sudah ratusan bahasa tutur negeri ini menghilang.