Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Di “Berkas Kompas”: Jalan Berliku Mendapatkan Sianida

5 Maret 2016   06:55 Diperbarui: 6 Maret 2016   08:12 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dok. Kompasiana"][/caption]

TERSANGKANYA sudah ditetapkan: Jessica. Korbannya pun lebih dulu ada: Mirna. Eh, padahal keduanya bersahabat. Bahkan sejak sama-sama kuliah atawa belajar di Australia. Tralala, kasus kematian di Kafe Olivier, Grand Indonesia ini beraroma Sianida: racun!

KOMPAS TV pun perlu menelusuri kematian atas penyebab racun mematikan itu. Sehingga, Sabtu (20/2) dibedahlah atas kejadian itu, sebagai watch dog dalam tajuk “Bincang Sapa” di Bentara Budaya, Jakarta Sabtu (20/2). Bisa disebut, inilah kisah di balik pembuatan tayangan program Berkas Kompas ini. 

“Saya nggak ngerti, kenapa penonton kita senang dengan gambar yang blur,” ungkap Mercy Tirayoh, reporter Berkas Kompas TV yang didampingi produser Veronica Hervey. Mungkin itulah misterinya orang senang dan penasaran dengan gambar(an) remang-remang seperti racun sianida yang menghebohkan itu.

Padahal, dalam jurnalistik TV sebagai media pandang dengar membutuhkan gambar sebagai bukti sahih untuk ditonton pemirsanya. Di sinilah tantangannya. Hari itulah diungkapkan lika-liku tim Berkas Kompas, sebuah program yang ditayangkan Rabu malam. Dengan menghadirkan Glory Oyong sebagai moderator yang dikenal sebagai host pada “Sapa Indonesia” tayang tiap pagi.

[caption caption="Reporter, produser dan presenter Kompas TV mendampingi Dr. Budiwan, nara sumber Bincang Sapa "Sianida". (foto:TS)"]

[/caption]

Dari aspek persoalannya, jelas sebuah kerja tim tidak mudah. Bagaimana agar mendapatkan gambar sebagai “alat bukti” dan narasi yang mengikutinya. Sehingga kasak-kusuk persoalan racun sianida yang disebut sebagai penyebab kematian perempuan yang baru menikah itu menjadi tidak mudah. Setidaknya, bagaimana untuk bisa membuktikan dan menghadirkan sianida itu. Meski kadang cameraman mesti ngumpet di mobil dan mengambil gambar dari jarak jauh.

“Kami terpaksa mengaku sebagai mahasiswa kimia,” ujar awak Kompas TV itu. Di mana tak mungkin ia dan tim ujug-ujug mendatangi toko kimia untuk mendapatkan sianida itu dengan mengaku sebagai awak media. Taklah.

Jalan memutar ini, bisa dibaca: menyamar, bagian yang diungkapkan di hadapan Kompasianer dan sebagian atas undangan Kompas TV. Dan ini, memang bukan pekerjaan  gampang. Karena kalau investigasi dilakukan oleh online, media cetak atau media dengar (radio) cukup dengan satu awak dan bisa sambil menyembunyikan alat perekam atau alat tulis dan berlaku layaknya orang biasa. Nah, bagaimana untuk tim Kompas TV? Bagaimana cameraman harus pandai, termasuk mencuri-curi, sembunyi.

Sianida sendiri sesungguhnya mudah diperolehnya di toko kimia untuk penjualan tingkat menengah-atas. Tanpa proses berbelit. Setidaknya, sebelum kasus yang memakan korban Mirna mudah diperoleh. Dan menghilang barangnya manakala ditanyakan oleh tim Berkas Kompas. Namun sebagai orang media, dan ini jenis investigasi, pantang menyerah. Maka tim Berkas pun “mencari” lewat internet. Dapat.  Bahkan mereka kemudian bisa mendapatkan 50 kg racun kelas atas dalam soal bahayanya. Setidaknya di atas arsenik yang pernah menghilangkan nyawa tokoh penting penggiat HAM bernama Munir, yang proses “pembunuhannya” antara Jakarta-Amsterdam. Harganya pun relatif murah.

[caption caption="Foto:TS"]

[/caption]

[caption caption="Gayeng mendengar tim Kompas TV melacak dan mendapatkan sianida. Plus nara sumber yang berkompeten. (foto:TS)"]

[/caption]

Toh, sebagai awak media Mercy Tirayoh, perlu membuktikan hasil pembelian sianida itu. Seberapa jauh efek dari racun jenis yang popular namun menjadi benda yang asing bagi banyak orang. Seperti apa bentuk dan efek yang ditimbulkannya itu. Maka dibawalah sianida itu ke laboratorium Kimia, FMIPA Universitas Indonesia dan dibawah pengawasan ahlinya Dr. Rer Nat. Budiawan. Di sinilah diproses, dan diambil gambarnya sebagai bagian produksi acara/ program investigasi a la Kompas TV. Konkret dan meyakinkan.

                Seperti kemudian bisa dilihat dari tiga cangkir kopi dalam uji coba ini, yakni:

1.       Cangkir pertama: kopi dibubuhi 15 gram sianida dan diaduk. Ada perubahan menjadi kuning mirip kunyit.

2.       Cangkir kedua: kopi dibubuhi sianida tanpa diaduk. Tak ada perubahan warna.

3.       Cangkir ketiga kopi tanpa dicampuri sianida. Hasil akhirnya sama seperti warna kopi, hitam.

 

Ya, jumlah 15 gram sianida mengacu pada “laporan” Polisi tentang racun yang dibubuhkan ke minuman yang “meracuni” Mirna itu. Jumlah yang bisa disebut over. Karena, “Cukup dengan 6,4 gram sianida, seluruh organ tubuh manusia sudah langsung berhenti berfungsi,” tutur Dr. Budiawan. Alias dead! 

Sampai di sini, meyakinkan hasilnya. Dan sebuah kerja diam-diam, yang disebut kru Kompas TV ibarat “kerja” ditektif yang tidak sia-sia. Bisa meyakinkan pemirsa, bahwa begitulah kerja sianida kalau dicampur dengan kopi dan diaduk. Sampai di sini  pula kerja dari Kompas TV. Tim Berkas Kompas, tidak bisa melebihi Polisi dalam menyidik kasus yang menyedot perhatian publik.

Ternyata bedah Berkas Kompas kian menarik. Setidaknya ada banyak data, terutama tentang racun-racun yang menjadi "makanan" Dr. Budiawan yang pernah ke Jerman, Jepang sebagai bahan perbandingan dengan Indonesia yang dianggap kelewat lunak dalam mendapatkan “racun-racun berbahaya” di penjualan bebas. Bahkan ia menyebutkan, Amerika Serikat saja sampai perlu belajar dari kasus Bom Bali – karena kemudahan “warga biasa” mendapatkan bahan-bahan berbahaya di toko kimia.

                Dengan kasus racun yang membunuh Mirna di Kafe Olivier itu, menjadi pelajaran bersama. Bahwa sianida, atau bahan mengandung racun lain yang sebenarnya bisa digunakan untuk kebaikan. Semisal dalam sianida untuk memisahkan unsur-unsur logam, antara emas dengan tembaga. Menjadi bagian untuk pembuatan peralatan rumah tangga, rokok dan sebagainya. Untuk itu  perlu sebuah aturan main yang jelas. Sehingga dibutuhkan “hukum” yang mengaturnya secara adil.  Tidak disalahgunakan, dan bila digunakan untuk kejahatan, ya ada sanksi yang jelas dan tegas.

Demikian kesimpulan sementara dari acara perdana bedah "Bincang Sapa" Berkas Kompas yang bisa menjadi bekal, khususnya Kompasianer, untuk menyebarkan pengetahuan berbahaya ini secara “benar” dan tidak membodohi sebagaimana fungsi sebagai awak dari media warga. ***     

        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun