Cerpen Thamrin Sonata
Never mind, I’ll find someone like you
I wish nothing but the best for you*
Grung! Grung …!
Sepeda motor hijau itu pun meraung. Membawa Tika di belakang Sonata. Sang wanita hanya sekali menegakkan badan, selebihnya menggayut dan mendekap Si lelaki. Sekuat-kuatnya rengkuhan kedua lengannya. Jaket kulitnya dan jaket kulit si pengendara tembus melalui hati. Dalam debar dan frekuensi yang sama.
“Kita ke mana?” ketika lampu merah menyala di sebuah perempatan. Suaranya dikeraskan.
“Ke mana saja!” sahutnya tak kalah kencang.
Perbincangan singkat dari sepeda motor besar hijau sempat membuat beberapa orang yang mengendarai sepeda motor di kiri kanannya menoleh. Sembari membisik dan menyimpan dalam hati. Adakah yang lebih indah dari sepasang anak manusia yang mengarahkan mereka ke pantai ujung asa.
Ke mana saja dan sampainya kapan, tak penting. Tika pun tak pernah menanyakan kelanjutannya. Sepanjang ia bisa mendekap Sonata. Hingga senja di ujung pantai yang digurati teja, garis-garis merah. Lukisan Sang Pencipta yang berubah-ubah saat angin meniupnya kapan pun juga.
“Sebenarnya senjanya sama seperti kemarin-kemarin.”
“Karena mataharinya sama.”
Sonata tertawa.
“Pinter kamu.”
“Yang membedakan, karena kita ada di sini. Berdua. Selalu.”
Sonata membiarkan punggung Tika ditekankan sehingga membuatnya menegakkan sebentar. Keduanya berpunggungan. Tanpa suara lagi. Dengan pikiran masing-masing, dengan hati yang satu. Karena masing-masing earphone menyumpal dan memperdengarkan: someone like you.
“Kita pulang?”
“Menjadi kata-kata penting?”
Tika ragu.
“Menjadi penting, pulang?”
“Entah.”
“Jangan entah.”
“Kenapa?”
“Kalau kau ditanyakan orang rumah.”
Tika tertawa. Sempat melihat ujung bagian atas matahari nyungsep ditelan permukaan air laut. Sehingga malam menjadi sempurna. Dengan angin menjadi pengiring nyanyian malam.
“Kita ke mana?”
“Ke mana lagi, maksudmu?”
Tika menatap Sonata. Lama. Bola mata keduanya dalam pancaran yang sama. Menembus rembang senja.
“Bawalah daku pergi ….”
Lelaki itu menggeleng.
“Pulang kita.”
Sonata membawa Tika pulang. Masih dengan posisi yang sama. Dengan dekapan kedua lengan wanitanya. Membawa ia membawakan motor dengan tenang walau dengan kecepatan di atas rata-rata motor-motor bebek yang seperti binatang mudah dikendalikan itu. Kwek, kwek-kwek!
***
Grung, grung!
Sonata membawa Tika. Tika menegakkan badan sekali, sambil membetulkan baju putih yang membuatnya anggun. Ditambah seikat kembang putih, yang kemudian berada di perut sang lelaki. Sebelum keduanya menyempurnakan helm ditangkupkan lebih dalam.
“Kita ke mana?”
“Ke mana pun jadi.”
“Karena kau tlah menjadi milikku.”
“Karena kau menjadi milikku juga.”
Membelah kota dalam keramaian sore, membuat berpasang-pasang mata menggeleng-gelengkan kepala. Sebagian berdecak. Adakah yang lebih bahagia dari Sonata-Tika? Mereka tak mengenal sekaligus tak tahu sepasang manusia itu. Akan ke pantai asa.
Langit bersemu lembayung. Teja menjadi lukisan lebih indah dari hari-hari kemarin ketika mereka berada di dermaga itu.
“Langitnya sama.”
“Seperti kemarin-kemarin.”
“Yang membedakan, kita berdua.”
“Telah menyatu.”
Sonata diam saja lengan Tika melingkarkan ke perutnya. Membiarkan seikat kembang putih jatuh, dan persis di ujung laut. Lalu dijilati sekali dalam debur ombak dalam nyanyian lirih. Selanjutnya, kembang itu diseret ke laut. Hingga terus ke tengah.
Someone like you …
***
* penggalan lagu Adele: someone like you
Angkasapuri, 6.2.16
sumber gambar: magic 4wall.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H