GERIMIS tetap mampu mengundang Kromodongso dan tiga kawannya: Asep, Tigor, Daeng. Gardu di sudut itu ramai celoteh mereka walau hanya ditemani singkong rebus. Selain minuman panas yang segera menjadi hangat. Sebelum ditenggak karena dingin. Hawa musim hujanlah penyebabnya.
“Saya ndak ngerti … kenapa selalu ada wanita cantik dalam politik,” desis Kromodongso setelah meletakkan gelas kecil di lepekan kecil berwarna krem. “Apalagi makai pukul-pukul segala.”
Daeng, Asep dan Tigor saling pandang. Dan mereka mencoba menahan diri saja. Karena biasanya lontaran Kromodongso yang bernada bingung akan dijawab sendiri. Hanya semacam jeda sebelum kemudian menganalisa. Dan biasanya cespleng.
“Ndak ada yang nanggepi?” kali ini Kromodongso melirik ke arah Tigor.
Lelaki tinggi gagah dan ganteng yang kerap diidentikkan dengan aktor spesial pemeran antagonis itu menggeleng.
“Berarti ngomongin wanita cantik itu sele ….”
“Jangan!” potong Daeng. “Jangan selesai. Ini asyik. Terusken, Kromodongso.”
Kromodongso tertawa.
“Apalagi kalau ada unsur politiknya,” sambung Asep.
Namun apa daya. Perbincangan itu tetap berputar-putar perihal mata seorang korban, yakni wanita cantik itu. Yang dipukul, entah siapa persis pelakunya.
“Yang apa pun, ia telah terluka ….”