Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nur Rohim, Pendiri Sekolah Master, Jebol Bendungan Airmatanya Ketika Ditanya Asal-usulnya

31 Januari 2016   17:33 Diperbarui: 4 April 2017   17:32 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                Maka, di lingkungan Nur Rohim, yang sesungguhnya tak an sich “mengajar” anak itu, menyediakan ambulans. Bahkan sudah kerja sama dengan pihak Polres dan Tempat Pemakaman. Sehingga, “Kalau ada yang meninggal di sini, kami sudah siap kain kafan, dan cukup uang lima ratus ribu, beres. Uang sejumlah itu untuk biaya penggali kuburan dan papan penutup mayat,” tutur Nur Rohim.

                Keterbukaan dan sikap positif untuk memberi bantuan secara kemanusiaan Nur Rohim, bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin “enaknya” sendiri. Semisal, terakhir rame dengan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang dikira ada yang singgah ke Sekolah Master. “Pihak Kepolisian pun menggerebek kemari dikira ada pelariannya ke sini.”   

                Siswa Diterima Asal Mau Duit

                Dengan manajemen Langitan, istilah yang digunakan Nur Rohim di Sekolah Master, toh ia membuktikan diri bisa eksis hingga pada tahun kelima belas sekarang ini. Pokoknya dilakukan secara sadar dan kerja keras serta mengharap pada yang ada di langit, di Atas, Allah. “Karena kalau dihadapkan dengan teori manajemen paling modern pun takkan pernah ketemu,” ucapnya, mantap.

        Padahal, Sekolah Master hanya menerapkan: Miskin, hidup dan mau belajar, maka akan diterima di sini. Belajar secara gotong royong dan mandiri bagi para siswanya. Kalaupun mengamen di jalan mesti pulang kembali untuk belajar. “Saya berharap siswa-siswa di Sekolah Master ini kelak akan menjadi agen perubahan,” ujarnya serius.

Belajar secara lesehan pun jadi. 

     

        Mereka yang diterima di Sekolah Master perlu benar yang namanya DUIT. Apa itu? “Doa, Usaha, Iman, Tawakal!” sebuah tawaran yang kalau bisa tak ditawar-tawar. Karena itulah modal mereka dari kaum papa.

         Ketika pada kenyataannya anak-anak bisa lulus dari Sekolah Master dan lolos belajar, semisal diterima di UI membanggakan bagi seorang Nur Rohim. Atau ke perguruan-perguruan tinggi lain yang menerima siswa dari gelandangan. Mengingat mereka belajar dengan prasarana dan sarana “seadanya” kecuali dengan mental baja. Sekolah yang longgar waktunya, dan sebagian tidur uyel-uyelan di tempat ruang telah digunakan untuk “membaca” pelajaran dari para Kakak-Kakaknya, sebutan umum kepada yang mengajar sebagai relawan yang hanya mendapat imbalan makan plus lauk-pauk sangat-sangat sederhana: terong, terong, dan terong!

        “Saya mengerti. Tanpa bantuan para relawan, Sekolah Master tak bisa berlangsung seperti sekarang,” kisah Nur Rohim, merendah.

Sertifikat dari Sekolah Master kepada mahasiswa Korea Selatan. Tanda kerja sama, sudah tiga kali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun