Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nur Rohim, Pendiri Sekolah Master, Jebol Bendungan Airmatanya Ketika Ditanya Asal-usulnya

31 Januari 2016   17:33 Diperbarui: 4 April 2017   17:32 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Nur Rohim, menitikkan airmata saat ditanya asal-usulnya.

 

 

Siswa-siswa Sekolah Master di lapangan.

 

SOSOK bandel, anak orang mampu, dan sekaligus anak jalanan menggiringnya menjadi seorang Pendiri, Kepala dan Pembimbing Sekolah Master. Ya sekolah Masjid Terminal di Depok, Jawa Barat yang sepelemparan batu dari Universitas Indonesia, perguruan tinggi paling terkenal di negeri ini. Dengan daya tampung 2. 000 orang dan latar belakang tak jelas: gelandangan, nomaden, pengamen, pencopet, pengguna narkoba, orang gila hingga terbaru digeledah Polisi karena dianggap ada pelarian dari Gafatar masuk ke kompleks sekolah ini.

               

                “Ini kan mestinya tanggung jawab Pemerintah,” katanya terhadap para murid dan orang-orang  tak jelas yang ditampung di Kompleks Sekolah Master di KOMPAS TV, Januari 2016, dalam liputannya.

                Nur Rohim, kelahiran Juli 45 tahu lalu, sesungguhnya tak sedang menyalahkan Pemangku Kepentingan Negara di wilayah Kota Madya Depok, Jawa Barat. Karena ia sadar dari apa yang telah diambilnya sebagai risiko mendirikan Sekolah Master yang berada di impitan Terminal bus/angkot, Stasiun Keretaapi Depok Baru, dan kepungan toko serta mal. Sehingga lahan Sekolah “miliknya” dibongkar dan diambil alih sekitar 2.000 meter persegi tanpa penggantian memadai seperti janjinya “mereka”. Hanya karena ia tak memiliki sertifikat, meski oleh Walikota dulu disaksikan atas kepemilikannya yang sah. “Saya waktu itu berpikirnya, ya untuk sekolah, bukan untuk saya. Kalau diperkarakan secara hukum, bisa menang. Tapi mesti keluar ongkos yang besar. Di negeri ini kan selalu begitu kisahnya,” katanya. Yang membuatnya berang, karena lahan itu dianggap lahan seksi untuk kemudian dijadikan lahan bisnis dan komersial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun