Cita-cita Sekolah Master itu Bagian Diri Nur Rohim
Empat jam Kompasianer berada di Sekolah Master, baru sedikit kisah panjang dan berwarna pada pendirinya, Nur Rohim. Terlalu pendek untuk mengenal sosok pendek berpikir panjang tentang manusia-manusia yang perlu diuluri tangan kukuhnya, yang di tangan kanannya melingkar jam tangan menyerupai sosoknya: kekar. Ia bagai tak kenal waktu dalam mengurus anak-anak marjinal itu.
Sebenarnya, sosok macam apakah Nur Rohim yang mampu menggetarkan jagat pendidikan bagi mereka “manusia yang tak jelas asal-usulnya” itu? Tanpa sungkan dan mesti mengorbankan waktu-tenaga-pikiran dan bahkan duitnya. Sehingga sekolah binaannya menohok pihak yang sebenarnya bertanggungjawab pada anak bangsanya. Seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar. “Sebenarnya ini bagian dari diri saya,” Nur Rohim terus terang.
Alkisah, ia anak dari keluarga mampu yang bermukim di Tanah Abang yang keras bagi kehidupan di ibukota Negara, Jakarta. Ia hidup di jalanan, dan kemudian diambil alih oleh Kakeknya. Orangtuanya pedagang kelontong sukses. Namun ia menjadi tidak beres. “Ini tanggung jawab saya. Dan kalian jangan iri kalau Nur Rohim kuperlakukan spesial. Karena ia tidak seperti kalian, kata Kakek saya.” Dan kemudian, Nur Rohim dimasukkan ke pesantren di berbagai pesantren, setidaknya sampai lima kali dan baru diterima salah seorang kyai yang melihat Nur Rohim sesungguhnya baik.
Ayah Nur Rohim, sebenarnya tak ingin menceraikan ibu. Namun Ibu bersikukuh tak mau dimadu. Jadilah Nur Rohim dari keluarga broken home yang lebih kerap berada di jalanan di lingkungan Tanah Abang yang kesohor keras itu. Ia yang setiap liburan dari pesantren, bergabung dengan mereka anak-anak jalanan yang lebih senior. “Dan saya sering dijadikan korban sandera. Apalagi saya dari keluarga mampu. Ah, sering benar saya berhadapan dengan aparat.”
Loncat waktu, Nur Rohim yang didoakan kyai untuk tidak “menjadi orang”, terlempar ke Depok. Dia membeli kios. Dan di sinilah ia melihat anak-anak yang lebih banyak mabok minuman keras dan kalau ngumpet selalu ke masjid yang disinggahinya. Hatinya tergerak. Maka ia meminta izin pada pengurus masjid di sekitar terminal itu. “Saya pakai untuk mereka belajar di emper masjid sampai sebelum dhuhur,” kisah lelaki muda itu.
Jadilah kisah anak-anak jalanan itu yang belajar, atau “diajar” Nur Rohim di Masjid dekat Terminal bis dan angkot Depok secara singkat. Hingga kemudian muncul nama Sekolah Master.
Toh, lelaki dengan latar belakang pendidikan pesantren, walau kemudian selesai di Perguruan Tinggi di bidang ekonomi itu, seorang kakak bagi anak-anak jalanan di wilayah Depok. Ia juga kuliah tambahan di bidang hukum, yang amat penting berhubungan dengan masalah advokasi anak-anak Sekolah Master. Ia pun jebol bendungan airmatanya ketika ditanya apa arti nama Nur Rohim. “Nama itu kan doa. Nur itu kan cahaya. Rohim, ya kasih-sayanglah,” desis dengan suara parau, menangis ia!
Ternyata nama Nur Rohim itu atas pemberian Sang Kakek H Abdul Syukur yang memang dikenal sebagai tokoh agama. “Saya kan lahir hari Jumat. Waktu itu khotibnya bernama Nurochim,” kisah lelaki yang menyekolahkan tiga anaknya ke Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur itu. Ia berharap anak-anaknya menjadi agen perubahan, mengingat Pondok Darussalam Gontor dikenal akan terobosan dan alumni cukup mumpuni. Seperti yang telah ia wakafkan area dan Sekolah Master itu kelak.