Sekarang, kisah Nur Rohim, sekolah Master hanya “memiliki 4. 000 meter persegi saja. Sebuah lahan yang sebenarnya sangat strategis dan berada di lokasi mahal untuk Kawasan Depok. Dan ia akan mempertahankan, demi bisa menampung mereka, “Sebenarnya mereka belajar tak membutuhkan fasilitas bagus-bagus amat. Yang penting diperlakukan secara manusiawi,” imbuhnya tentang sekolah yang didirikan dan gratis bagi murid-muridnya itu.
Sekolah Menerima Romusa
Kisah guru di daerah terpencil, guru merangkap mengajar di beberapa kelas, menjadi tukang ojek dan gaji terlambat serta fasilitas minim, termasuk di tempat penampungan sampah adalah sebagian gambaran pendidikan dan guru negeri ini. Mereka pejuang-pejuang betul dalam menghadapi sepi, terpencil dan serba minim “imbalan” atas pengabdian seperti gambaran Umar Bakrie-nya Iwan Fals.
Apa yang diambil-jalani oleh Nur Rohim, jauh lebih rumit dan membutuhkan mental baja agar tak mental terlempar dari dunia “Sekolah” versi Sekolah Master. Berada di tengah hiruk-pikuk manusia, termasuk kaum urban dan dari latar belakang tidak jelas. “Kami di sini menampung para romusa!” ungkapnya dengan enteng.
Romusa, ternyata akronim dari Rombongan Muka Susah. Bukan kaum pribumi yang dipekerjakan secara paksa pada era penjajahan Jepang. Meski tetap terasa getir atau satir dari akronim-akronim yang terlontar dari lelaki yang terbilang pendek tinggi badannya itu, selain nama Master – Masjid Terminal itu. Namun di balik itu, ia panjang akal dan mesti panjang usus karena problematika dari pengabdiannya yang tak berbilang-bilang ribet bin sengkarut mengurus mereka. Sekolahnya yang terbuka bagi siapa saja yang tak jelas latar belakangnya itu menjadi makanan sehari-hari Nur Rohim. Selain menyediakan tempat, sarana dan memberi mereka tumpangan berupa asrama atau sisi luar masjid. Di samping memberi makan para siswa. “Agar mereka bisa belajar dan tak kembali ke jalanan.”
Untuk itu, Nur Rohim menyediakan bengkel las, tempat penyablonan kaos, salon atau apa pun sebagai tempat berbasis “Kebutuhan” bagi siswa-siswanya. Bahasa kerennya, agar mereka mandiri. Karena, ia sudah diajari oleh kakeknya untuk tidak menengadahkan tangan alias meminta-minta. “Kalau diberi, ya kata Kakek jangan ditolak. Diterima,” tukas Nur Rohim.
Sekolah Master yang oleh Nur Rohim selalu terbuka, menyebut: bahwa ia berpandangan orang yang datang ke tempatnya adalah orang baik-baik. Ia faham arti mereka yang lahir dari rahim keluarga berantakan makanya menjadi luntang-lantung di jalanan dan kemudian nimbrung ke Sekolah Master. Ia menyebut, mereka dari Keluarga kocar-kacir di sekitar 85 persen karena cerai-berai rumah tangganya (broken home). Walau ia dalam perjalanannya mendapatkan kenyataan “sebaliknya” dari mereka yang boleh jadi baru beradaptasi. Dari yang biasa hidup di jalanan yang keras. “Itu sangat-sangat biasa terjadi di sini. Mereka yang mencopet temen satu emperan masjid,” kisah ayah empat orang anak itu. Bahkan ada yang berkelahi, melukai temannya, sambung Nur Rohim.
Sekolah Master, yang kedengaran keren dan intelektual, memang tak hanya mendidik “kaum urakan” saja. Karena para lansia, dan berwajah Romusa itu bagian dari tanggung jawab Nur Rohim bersama para relawan (volunteer) yang sebagian adalah mahasiswa UI yang tak jauh dari sekolah ini.