repro/foto: Wartakota (15/1) -- Aksi Afif di sekitar Jalan Thamrin.
Kromodongso sendirian di gardu, ketika gerimis rintik-rintik ke bumi. Busss. Ia kentut. Sejurus kemudian, ia membekap hidung dan sekitar mulutnya.
“Bau juga kentutku …,” sambil cengengesan.
Tak lama berdatangan teman-teman: Asep, Daeng dan Tigor. Mereka masih menyisakan percakapannya, sekitar bom, teror di Jalan Thamrin.
“Kali ini saya teringat sebuah adegan dalam film yang dibintangi Robert deNiro dan melawan Al Pacino …,” ucap Tigor sebelum memarkir pantatnya.
“Heat …!” seru Kromodongso.
Tigor menjentikkan jarinya.
“Seratus untuk sampeyan.”
Asep dan Daeng yang merasa tak pernah menonton film itu, bingung. Keduanya bergantian saling pandang, dan memandangi Tigor maupun Kromodongso.
“Siapa yang menang? deNiro, kan? Dia kan selama ini terkenal sebagai aktor bunglon….,” Asep asal sebut.
Kali ini Tigor dan Kromodongso yang saling pandang. Ndak nyangka kalau Asep yang lebih seneng dengan wayang golek itu ngerti siapa Robert deNiro.
“Untuk aktor bunglonnya, ya. Tapi untuk kali ini ia sebagai pencundang. Dan ditekuk oleh Alfa cino.”
“Al Pacino!” sergah Kromodongso. “Ndak usah didramatisir.”
Perbincangan menjadi ngelantur ke mana-mana dan kembali ke teroris yang kemudian mereka tahu bernama Afif. Bertopi nike, berjeans, berkaos, sepatu biru olahraga dan senjata pistolnya. Yang meyakinkan adalah manuvernya di tengah Jalan jantung kota itu, Jalan Thamrin. Itu yang mengingatkan Kromodongso dan Tigor pada aksi dalam film Heat yang mempertemukan aktor-aktor kelas Oscar.
“Lihat saja latar belakangnya, segerombolan orang melihat aksi si Afif!” tandas Tigor.
“Itu jadi seperti panggung Afif.”
“Persis, Kromodongso!” jentik Tigor.
Tigor dan Kromodongso asyik mendeskripsikan adegan-adegan dalam film itu. Juga melihat aksi gerakan Afif layaknya seorang pemeran nan meyakinkan. Ekspresi dan gesturnya. Ah! Namun mereka baru sadar ketika Asep dan Daeng saling tuduh soal sepele. Siapa yang kentut?
“Kita sudah damai. Kok masih saja ada bom …!” seru Asep.
Keduanya, Asep dan Daeng seru saling tuding perihal angin busuk itu. Bahkan kemudian memuncak. Sampai keduanya sama-sama berdiri. Seperti mau saling baku.
“Sudaaah …!” lerai Kromodongso.
“Jangan bela dia. Ini masalah ….”
“Masalah apa, Sep?”
“Ya, kentut. Kan ini menyangkut serangan membabi-buta di antara kita. Nggak jantan dong. Masak sedang membicarakan teror di Sarinah Thamrin dan pilem ….apa? Iya, pilem Heat, kok malah dia kentut. Itu sama sekali ndak seperti Afif ….”
Kromodongso garuk-garuk kepala.
“Argumentasimu itu, lho Sep.”
“Meyakinkan, kan?”
“Iya.”
“Nah!”
“Tapi salah.”
“Kok?” ia menelisik ke wajah Kromodongso.
“Karena aku yang kentut ….maaf, maaaf …!”
Keadaan pun menjadi cair. Rintik hujan yang membesar, menambah gayeng pembicaraan di gardu itu. Dengan minuman hangat dan singkong rebus.
Buuuus …!
Kromodongso cepat-cepat membekap hidung sendiri. Dan berjingkat pamit pulang. Diiringi tawa sekaligus geleng-geleng kepala tiga orang temannya. Meski kemudian mereka merasakan bom angin busuk. ***
* catatan: saya masukkan saja ke "golongan" cerpen. Penginnya sih humor. Tapi kanal ini ndak ada. Salam, TS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H