KOMPASIANA dalam perhelatan Kompasianival Indonesia Juara sepekan lalu, ada catatan kecil yang bisa saya tuliskan di sini. Jika kompasiana berbasis tulisan, maka kehadiran buku bertajuk “Sehangat Matahari Pagi” menjadi niscaya untuk sebuah catatan unik dan punya arti juga.
Meski berlabel media warga – notabene bukan media konvensional berbasis cetak – dan berserak ditulis oleh warga, kompasianer, ini media nyata juga. Dan kehadiran buku cetak, konvensional, menjadi real. Ada. Dan yang menarik ditulis oleh warga itu sendiri.
Dengan subyek seorang kompasianer bernama Tjiptadinata Effendi, buku Sehangat Matahari Pagi, selanjutnya SMP, bisa diurai sebagai sebuah catatan. Di mana subyeknya, kebetulan, Kompasianer of The Year 2014 yang sudah dikenal di Kompasiana. Bahkan, sebagian oleh kompasianer yang telah membuktikan “siapa” Tjiptadinata Effendi, ketika masing-masing menemui dengan caranya. Di sudut-sudut negeri ini maupun negeri di luar.
SMP, Menjadi Kolam Nyata
Jumlah penulis dalam SMP, 64. Bentuknya esai, opini, surat dan puisi. Sedangkan yang “hanya” berkomentar pendek, 22. Meski yang menjadi sasaran tulisan seorang (baca: Tjitadinata Effendi), namun menimbulkan beragam catatan sudut pandang para penulis. Tak melulu perihal arti seorang lelaki berusia 72 tahun tersebut. Dalam kekaguman kosong. Ada argumentasi yang bisa diterima nalar.
Apalagi, ketika, sosok Tjiptadinata Effendi hadir di Kompasianival. Di mana ada perjumpaan tak lagi secara teks, namun sudah kontekstual, nyata dan real. Sah.
Dalam buku SMP, Tjiptadinata dihadirkan sesuai dengan apa yang menjadi “pikiran” para penulisnya. Plus pengalaman bersinggungan dengan Tjiptadinata Effendi. Sehingga muncul: Ada Apa Pada Tjiptadinata Effendi. Yang ditulis Abenggeutanyo: Tak ada sesuatu yang ambisius ingin diraih di Kompasiana ini selain berbagi ilmu dan pengetahuan serta pengalaman yang bermanfaat untuk kita meski kadang menimbulkan pertanyaan, mengapa Tjiptadinata sering HL atau Highlight, bukan si ini atau si anu dan seterusnya.
Atau ini: Tapi Pak Tjip tidaklah demikian. Ia menceritakan apa yang ia lihat atau alami dengan jujur seperti apa adanya. Ia bagaikan berada di kotak kaca transparan dengan banyak orang menontonnya (Suyono Apol, halaman 157).
Juga berikut: Pak Tjip, Andalah sang burung camar Jonathan itu!. Sekaligus: Pak Tjip, Andalah kepolosan, kebersahajaan kerendahan hati itu. Dan ditambah: Pak Tjip, Andalah keberanian dan kejujuran itu. Disempurnakan: Pak Tjip, Andalah saluran berkah-berkah yang berkelimpahan itu! (Teha Sugiyo, halaman 160).
Bahkan, ada semacam “kesamaan” dengan “Antara Enlightenment Tjiptadinata Effendi dan pesan sufi Imam Khomeini, seperti dicatat Fajr Muchtar: melalui Makna pencerahan dan Langkah Menuju Pencerahan. Catatnya, cukup jelas: “Niat berawal dan pikiran. Pikiran melahirkan niat. Niat akan diikuti oleh tekad. Tekad akan diikuti oleh kerja keras.”
Tjiptadinata menjadi terbuka. Tanpa sekat, dan menjadi teladan di sini. Bisa disimak dari tulisan “kesadaran” lain dari Adhieyasa Adhieyasa:
Ego dan darah dingin lebur dalam kehangatan silaturahmi
Ternyata kita semua saling berhubungan
Ada rasa sakit yang dalam di hatiku yang kucoba untuk menghilangkan ketika melihatmu disakiti
……..
Tak ada lagi rasa benci
Yang tersisa hanya penyesalan dalam
Karena sejatinya kita sama
Tjiptadinata Effendi dan istri Roselina (foto: dok pri)
Sasaran bagi Pecundang
Tjiptadinata menjadi sebuah “kajian”, ternyata. Menjadi Kepala sekolah atau universitas kehidupan: Sang Bapak Kehidupan Ilmu Pengetahuan, bagi Johanis Malingkas, Bain Saptaman, Katedrarajawen, Odi Shalahuddin dan mayoritas yang menulis di SMP ini.
Begitupun Tjiptadinata Effendi bisa menjadi “pembacaan” lewat buku atau karyanya semisal dalam amatan Mauliah Mulkin: Membaca Tjiptadinata Effendi lewat buku (halaman 210). Cay Cay yang telah menuliskan untuk jenis resensi Beranda Rasa pun melihat hal itu. Sekaligus, empati subyeknya dalam bentuk “komentar” balik. Dan ini memuncak pada tulisan Isson Khairul: Bagi kita, setidaknya bagi saya, Pak Tjip dan Pak TS adalah ruang yang lapang, tempat banyak orang bisa belajar dengan leluasa. Mereka juga mata air yang nyaris tak pernah kering, yang menyirami nurani kita dengan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Jika Tjiptadinata Effendi tak disukai, karena pembacaannya dari jauh, dari luar. Termasuk ketika akunnya di FB di-hack seseorang. Dan sebagai “bapak ilmu kehidupan” di Kompasiana seperti dicatat Johanis Malingkas, ada yang membelanya, Doni Bastian, halaman 88.
Pendekatan penyumbang dalam buku SMP, sekali lagi, beragam. Sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya pada Tjiptadinata Effendi. Dan ini, sebuah kajian yang tak terelakkan di media warga bernama kompasiana. Tjiptadinata merupakan energi lebih yang bisa dikeduk oleh yang lebih muda: Ken Hirai, Wahab Naira Sairun, bahkan Umar Zidans menuliskan dengan keras : Antara Pak Tjiptadinata Effendi dan Mick Jagger. “Keduanya sama-sama enerjik, menginspirasi kaum muda terutama bagi remaja yang sedang menuju seusia Pak Tjiptadinata Effendi dan Pak Mick Jagger.”
Ha! Opo tumon?
***
Catatan:
Nama-nama yang berkontribusi. Silakan inbox ke saya untuk mendapatkan buku Sehangat Matahari Pagi. Hanya dibebani ongkos kirimnya saja.
1. Pepih Nugraha, 2.Wardah Fajri, 3. Nurul Uyuy, 4. Muhammad Armand, 5. Felix Tani 6. Roselia Nahariyha Dewididie, 7.Gunawan ST,Mkom, 8. Venurgazer, 9. Katedrarajawen 10. Wang Eddy, 11. Ken Hirai, 12. Rokhmah Nurhayati S, 13. Edrida Pulungan, 14. Boyke Abdullah, 15. Umar Zidans, 16. Topik Irawan, 17. Elde, 18. Ellen Maringka 19. Ahmad Suwefi, 20. Johanis Malingkas, 21. Abdul Latief Rahmad, 22. Kang Nasir, 23. Fajr Muchtar, 24. Daniel Setiawan, 25. Doni Bastian, 26. Thomson Cyrus, 27. Odi Shalahuddin, 28. Irina Gandaprawira, 29. Fey Down, 30. Enny Soepardjono, 31. Sisca Dewi, 32. Sho An Lusiana, 33. Andika, 34. Iskandar Zulkarnain, 35. Agung Soni, 36. Wahab Naira Sairun, 37. Nazila Nixon, 38. Rahmad Agus Koto, 39. Bain Saptaman, 40. Michael Sendow, 41. Abenggeuttanyo, 42. Suyono Apol, 43. Teha Sugiyo, 44. Pak Dhe Sakimun, 45. Cay Cay, 46. Thamrin Dahlan, 47. Masluh Jamil, 48. Tubagus Encep 49. Thamrin Sonata, 50. Rifki Feriandi, 51. Etha Maria, 52. Isson Khairul, 53. Gaganawati Stegmann, 54. Mauliah Mulkin, 55. Wijaya Kusumah, 56. Bang Nasr, 57. Tebe Tebe 58. Sugiyanto Hadi, 60. Khomsi Rahmaati, 61. Siti Nur Khasanah, 62. Ando Ajo 63. Adhieyasa Adhieyasa, 64. Ida Lumangge S, 65. Ella Yusuf, 66. Alvi Anugerah, 67. Nur Hasanah, 68. Christian Kelvianto, 69. Yunus M, 70. Bambang Setyawan, 71. MikeReyssent, 72. Marleni, 73. S.Aji, 74. Jati, 75. Sigit, 76. Yos Mo, 77. Aldy M. Aripin, 78. Daniel Ht, 79. Dewi Puspitasari, 80. Beni Guntarman, 81. Immortal Unbeliever, 82. Muthiah Alhasany, 83. Saroha Lumbanraja, 84. Rudy Geron, 85. Hasian Ku, 86. Eddy Messakh. ***
dok: KutuBuku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H