foto: assets.kompas.com
Bum!
Ratri menghentakkan kaki ke tanah. Kedua tangannya terkepal. Dadanya naik-turun. Nafasnya pelan-pelan mendatar. Tinggal matanya yang mencorong. “Huh!” dengusnya.
Ratri benar-benar kesal. Tokoh yang diperankannya, bagai menjauh ketika Eyang Darmo menegurnya. Kamu kurang penghayatan. Ndak seperti itu, Wong Jawa Timur. Lembek. Arek iku ndak kenal nangis.
“Andai Eyang nonton tivi. Eyang akan tahu siapa Ratri. Pemeran film penting,” desis gadis semampai itu.
Namun ia diam manakala dari arah belakang, terdengar tongkat yang terseret-seret. Ia menghela nafas dalam-dalam. Apalagi, ini?
“Kamu kurang satu saja, putuku sing ayu!” ucap lelaki bertongkat yang sudah berdiri di sampingnya.
“Apa?” ingin Ratri bertanya. Namun ia diam saja.
“Lihat!” kata Eyang Darmo. Dan Ratri melihat eyangnya melepas tongkat. Lalu badannya menegak. “Biarpun matahari muncul dari barat, kautetap Indonesiaku!”
Ratri melongo.
“Arek takkan mengenal kata menyerah. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung …!”
Bum!
Bersamaan hentakkan kaki ke bumi, Eyang ambruk kalau tak segera ditopang Ratri.
“Aku pengin kamu ….”Ratri mengangguk-angguk. “Setidaknya, Eyang pernah main drama dan mendapat masukan dari temen-temen pejuang. Mereka pahlawan ….walau ndak tertulis.”
Ratri tersenyum. “Eyang juga pahlawan Ratri.” Lalu ia mendudukkan eyangnya di pekarangan belakang rumah. Dan berdiri. Menirukan gaya eyangnya tadi yang menjelma bak seorang pejuang gagah.
***
Thamrin Sonata nomor 32
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H