Ketua DPD-RI Irman Gusman menerima plakat dari manajer Kompasiana, PepihNugraha. (dok: kompasiana)
“DPD sudah diakui. DPD sudah tercantum di uang seratus ribu, di sini,” ujar Irman Gusman. ”Kalau tak ada, berarti uang deposito Anda yang lama,” tambah Ketua DPD RI di Hotel Santika Preimer Jakarta, Jumat (19/6) dalam suasana yang cair. Penuh ger-geran dan istilah Padang maupun Jawa atau etnis lain pada hari kedua Puasa Ramadan itu.
Lalu sibuklah, para 80an Kompasianer yang hadir bersama 20an media lain dalam acara “Kompasiana: Tokoh Bicara”. Mengeluarkan lembaran uang yang didomoinasi warna merah, termasuk moderator Tri Agung dari KOMPAS. Ketika menemukan teks Dewan Perwakilan Daerah di bawa Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, membenarkan ucapan Ketua DPD-RI dua periode Irman Gusman dalam tajuk: Saatnya DPD-RI Didengar.
DPD Itu Pasti Orang Daerah
Kehadiran DPD, tersebab oleh tuntutan saat-saat reformasi bergulir. Sekitar sebelas tahun sudah hadir di Bumi Pertiwi ini, kalah tua dengan DPR/MPR yang sudah 70an tahun. Sebagai Lembaga Negara “baru”, apa sih peran para Senator itu? Diakui oleh Irman yang tampil necis seperti biasa, itu sebab diakuinya ia dipilih 70 persen oleh para kaum wanita. “DPD masih kurang dikenal, memang. Bahkan mungkin kalau diadakan survei, nama sayalah yang muncul,” akunya.
Namun, diakui lelaki kelahiran Sumatera Barat ini sambil menyebut, “DPD itu pasti orang daerah. DPD yang dikenal oleh masyarakat daerahnya. Ia bisa Istri Raja, Sultan, mantan menteri, gubernur, tokoh masyarakat lain.”
Sampai di sini, kebenaran itu mesti diakui. Artinya, anggota DPD Banten, misalnya, dikenal oleh sebagian masyarakat Pandeglang, Cilegon, Serang atau Tangerang. Walau itu sempat dipertanyakan oleh Kompasianer Tubagus Encep yang kurang mengenali siapa empat orang wakilnya dalam satu provinsi rsebelah barat ibukota Negara. “Kalau anggota DPR, dapilnya di Jawa Barat tapi namanya Muarar Sirait,” Irman sedikit beranalogi. Di mana nama (calon) DPR itu lebih Jakarta atau Sumatera. Bukan Asep-Aceng-Encep, Tatang, misalnya.
Tak mudah menampilkan lembaga tinggi Negara yang satu ini ke permukaan publik. Walau jika menilik sejarah, taklah sedemikian pendek perjuangan hingga bisa hadir, melalui amandemen UUD45. Apalagi bila mengingat kesenjangan yang ditimbulkannya, terutama perihal nilai ekonomi yang njomplang bila daerah mempunyai sumber daya alam yang melimpah, sementara warganya tak mendapatkan “keadilan”. Ini salah satu yang ingin diperjuangkan oleh DPD. “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) sebagai perwakilan daerah menjadi jangkar saluran aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah yang tidak terwadahi lewat jalur partai politik,” tutur Irman Gusman yang dua kali menjadi Ketua DPD.
Irman dengan fasih membedah DPD, kata lain dari diplomat Melayu, dengan bahasa yang popular. Ia sadar sedang mensosilisasikan dan berharap akan disambungkan oleh, terutama, para blogger yang dianggap perannya kian kentara dalam media sosial, media warga. Apalagi kini sedang giat mensosialisasikan akan kehadiran Rumah Aspirasi di daerah-daerah, di tingkat Provinsi. “Semua Rumah Aspirasi, yang dibangun sebagai tempat anggota Dewan Perwakilan Daerah berkantor di daerah, adalah tempat yang terbuka untuk seluruh rakyat,” tandas Irman. Bahkan, Sekretaris Jenderal DPD-RI Sudarsono Hardjosoekarto yang melanjutkan bicara karena Irman Gusman meninggalkan acara untuk bergabung dengan Presiden, menyebutkan, “Rumah Aspirasi didukung pegawai setempat . Masyarakat, termasuk blogger, bisa mengadakan kegiatan di rumah itu,” kata Sekjen yang telah bergelar guru besar itu.
Pembangunan Rumah Aspirasi untuk Kantor DPD-RI, jelas berbeda dengan permohonan dana aspirsi yang diajukan oleh DPR yang menghebohkan itu, dan ditolak Pemerintah. Apalagi usulannya itu cukup besar, 20 miliar rupiah per tahun per anggota legislatif itu. Mengingat Rumah Aspirasi hanya sekali untuk pembangunannya dengan nilai 21 milyar rupiah. Tak membebankan anggaran Negara dan bisa mudah disalahgunakan.
RUU Atas Inisiatif DPD
Dengan peran aktifnya itu, DPD sesungguhnya telah pula memberikan kontribusi yang konkret. Meski boleh jadi masih sayup-sayup. Padahal, DPD pun telah membuat “aturan main” yang lebih tertata. Ini seperti tertera dalam UU No. 17/2014 tentang MD3, DPD menyusun Program Kerja dan target capaian dalam lingkup kerja di dalam empat Komite meliputi:
Komite 1: Otonomi Daerah, hubungan pusat dan daerah serta pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah.
Komite 2: Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan pengelola sumber daya ekonomi lainnya.
Komite 3: Pendidikan dan agama
Komite 4: Rancangan Undang-undang berkaitan dengan APBN, pertimbangan dan Pusat dan Daerah, memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan Negara dan pemilihan anggota BPK, pajak dan usaha mikro, kecil dan menengah.
DPD yang berjumlah 132 dari 33 provinsi ingin ikut peran secara lebih aktif lagi. Sehingga DPD menjadi salah satu pemasok bentuk kerja DPR-RI dalam RUU tentang kelautan. RUU yang atas inisiatif DPD-RI pembahasannya dilakukan bersama DPR-RI, DPD-RI dan pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 170 dan 171 Tahun 2014 tentang MD3 serta Tata Tertib DPR-RI. “Tugas kami mengajukan dan membahas RUU tentang daerah. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, 27 Maret 2013, setiap RUU harus melibatkan DPD-RI agar tidak cacat secara hokum,” imbuh Irman.
DPD sudah didengar, dan diperdengarkan di acara nangkring yang disampaikan melalui bahasa yang gampang dicerna. Dan menjadi tugas blogger untuk ikut menyambungkan suara DPD-RI, sehingga kelak lembaga Negara ini kuat. Tak hanya telah diterakan di mata uang kertas Republik ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H