Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

KAA 60: Bandung Mendadak Bahagia

17 Mei 2015   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis melihat, inilah Indonesia Travel penting di Bandung di kwartal pertama tahun 2015.Di mana kemeriahan dan keceriaan menepis sengat matahari Minggu siang itu. Warga yang datang ke lokasi seperti ingin merasakan api cita-cita “Dasa Sila Bandung” itu. Termasuk, bagaimana sejarah Kota Kembang dengan melihat pameran foto yang dipasang di Gedung OCBC yang persis berada di depan Museum Asia-Afrika – di mana bendera peserta Konperensi AA berkibar-kibar. “Ini foto pernikahan Ibu Inggit Garnarih dengan Bung Karno yang waktu itu masih 25 tahun,” seru seorang wanita muda setelah membaca caption, teks foto hitam-putih yang diamatinya.

14318557141587064410
14318557141587064410

Dan sebagian manggut-manggut ketika melihat sambutan warga Bandung pada KAA tahun 1955 dalam foto hitam-putih. Yang mana berbeda dengan enam puluh tahun kemudian. Di sudut kiri dari Jalan Braga pun tampak tak berubah banyak dari jalan dan gedung yang ada. Jika dalam jepretan penulis lebih berwarna, karena eranya. Sehingga bendera yang berkibar-kibar tampak lebih berwarna.

1431857816205763654
1431857816205763654

Sepertinya tergambarkan KAA saat itu. Meski diliput oleh wartawan ala tempo doeloe alias jadul. Peralatan yang digunakan sungguh sederhana. Bahkan kartu pers pun kalau digunakan sekarang, bisa-bisa dibuang petugas – saking jadulnya – di acara resmi dan penting sekelas kepala Negara Asia-Afrika, kelewat sederhana. Ini bisa dibandingkan dengan warga biasa yang sedang memotret acara hari Minggu penutupan KAA ke-60.

14318555811657128913
14318555811657128913

Peran media: antara yang jadul dan modern

1431856840206255582
1431856840206255582

Atau dua dara yang berselfie ini. Mereka menggunakan tongsis, dan hasilnya bisa dilihat saat itu juga. Tanpa proses panjang seperti penggunaan camera dulu: dicuci, dan kemudian dicetak secara BW, Black-White alias hitam-putih.

1431857004879520669
1431857004879520669

Persis di depan Gedung Merdeka, padat. Di sini tak kalah serunya pengunjung yang seperti ingin membuktikan telah datang ke tempat bersejarah. Atau dengan bahasa yang agak kikuk, mengajak orang bule untuk foto bersama. “Take The picture, Mister?” ajak seorang gadis di tepi Kali Cikapundung yang berderet gambar tokoh Asia-Afrika sebesar tinggi aslinya.

14318576301708656067
14318576301708656067

Ah, kebahagiaan macam apa lagi, coba? Kecuali sebagai penanda, bahwa mereka menikmati acara Indonesia Travel dengan cara mereka.Dan bisa dibawa sebagai oleh-oleh dari sebuah tempat bersejarah. Meski di samping kiri Museum ada stand yang menawarkan pernak-pernik khas Sunda, termasuk Cepot tokoh punakawan dalam pewayangan Sunda. Atau gantungan kunci cuma seharga lima belas ribu rupiah. Dan yang mentereng, tentu kaus berteks KAA dan Bandung.

14318567581486917119
14318567581486917119

Di Sudut Dago
Bandung sebagai Kota Kreatif, menjadi-jadi dalam menyambut KAA ke-60. Ditambah sentuhan Kang Emil yang ingin memberdayakan warganya dan bersama “bahagia”. Ini termasuk ketika Minggu pagi itu mestinya ada Car Free day di Perempatan Dago (Jalan Ir. Juanda), ditutup. Karena di Pasupati itu ada panggung untuk menutup acara akbar yang menelan angka cukup besar, sepuluh milyar lebih. Radio Sonata yang bersiaran langsung, mengabarkan dengan sepasang penyiar muda – di luar mobil van. “Kita update Bandung dalam menutup acara KAA keenam puluh. Di mana Kang Emil kecewa karena bangku yang sengaja dipasang rusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab,” sentil penyiar laki-laki dari mobil berjargon: Spirit of Bandung.

14318558101026955621
14318558101026955621

Ujung Jalan Ir.Juanda – kerap disebut Dago – yang ditutup, mengimbas ke Jalan di sebelahnya, Dipati Ukur. Di mana orang berjalan dengan keluarga. Santai dan penuh keceriaan, tidak mengomel atau menggerutu karena jalan yang biasa digunakan untuk acara Mingguan “Hari bebas Kendaraan”, toh bisa menggunakan jalan lain, yang masih juga rimbun untuk ukuran kota. Banyak pohon keras dan tua yang diikat kain biru-hijau-kuning – warna KAA. Ya, tidak dicat, demi tak merusaknya.

14318549891825725112
14318549891825725112

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun