Penulis melihat, inilah Indonesia Travel penting di Bandung di kwartal pertama tahun 2015.Di mana kemeriahan dan keceriaan menepis sengat matahari Minggu siang itu. Warga yang datang ke lokasi seperti ingin merasakan api cita-cita “Dasa Sila Bandung” itu. Termasuk, bagaimana sejarah Kota Kembang dengan melihat pameran foto yang dipasang di Gedung OCBC yang persis berada di depan Museum Asia-Afrika – di mana bendera peserta Konperensi AA berkibar-kibar. “Ini foto pernikahan Ibu Inggit Garnarih dengan Bung Karno yang waktu itu masih 25 tahun,” seru seorang wanita muda setelah membaca caption, teks foto hitam-putih yang diamatinya.
Dan sebagian manggut-manggut ketika melihat sambutan warga Bandung pada KAA tahun 1955 dalam foto hitam-putih. Yang mana berbeda dengan enam puluh tahun kemudian. Di sudut kiri dari Jalan Braga pun tampak tak berubah banyak dari jalan dan gedung yang ada. Jika dalam jepretan penulis lebih berwarna, karena eranya. Sehingga bendera yang berkibar-kibar tampak lebih berwarna.
Sepertinya tergambarkan KAA saat itu. Meski diliput oleh wartawan ala tempo doeloe alias jadul. Peralatan yang digunakan sungguh sederhana. Bahkan kartu pers pun kalau digunakan sekarang, bisa-bisa dibuang petugas – saking jadulnya – di acara resmi dan penting sekelas kepala Negara Asia-Afrika, kelewat sederhana. Ini bisa dibandingkan dengan warga biasa yang sedang memotret acara hari Minggu penutupan KAA ke-60.
Peran media: antara yang jadul dan modern
Atau dua dara yang berselfie ini. Mereka menggunakan tongsis, dan hasilnya bisa dilihat saat itu juga. Tanpa proses panjang seperti penggunaan camera dulu: dicuci, dan kemudian dicetak secara BW, Black-White alias hitam-putih.
Persis di depan Gedung Merdeka, padat. Di sini tak kalah serunya pengunjung yang seperti ingin membuktikan telah datang ke tempat bersejarah. Atau dengan bahasa yang agak kikuk, mengajak orang bule untuk foto bersama. “Take The picture, Mister?” ajak seorang gadis di tepi Kali Cikapundung yang berderet gambar tokoh Asia-Afrika sebesar tinggi aslinya.
Ah, kebahagiaan macam apa lagi, coba? Kecuali sebagai penanda, bahwa mereka menikmati acara Indonesia Travel dengan cara mereka.Dan bisa dibawa sebagai oleh-oleh dari sebuah tempat bersejarah. Meski di samping kiri Museum ada stand yang menawarkan pernak-pernik khas Sunda, termasuk Cepot tokoh punakawan dalam pewayangan Sunda. Atau gantungan kunci cuma seharga lima belas ribu rupiah. Dan yang mentereng, tentu kaus berteks KAA dan Bandung.
Di Sudut Dago
Bandung sebagai Kota Kreatif, menjadi-jadi dalam menyambut KAA ke-60. Ditambah sentuhan Kang Emil yang ingin memberdayakan warganya dan bersama “bahagia”. Ini termasuk ketika Minggu pagi itu mestinya ada Car Free day di Perempatan Dago (Jalan Ir. Juanda), ditutup. Karena di Pasupati itu ada panggung untuk menutup acara akbar yang menelan angka cukup besar, sepuluh milyar lebih. Radio Sonata yang bersiaran langsung, mengabarkan dengan sepasang penyiar muda – di luar mobil van. “Kita update Bandung dalam menutup acara KAA keenam puluh. Di mana Kang Emil kecewa karena bangku yang sengaja dipasang rusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab,” sentil penyiar laki-laki dari mobil berjargon: Spirit of Bandung.
Ujung Jalan Ir.Juanda – kerap disebut Dago – yang ditutup, mengimbas ke Jalan di sebelahnya, Dipati Ukur. Di mana orang berjalan dengan keluarga. Santai dan penuh keceriaan, tidak mengomel atau menggerutu karena jalan yang biasa digunakan untuk acara Mingguan “Hari bebas Kendaraan”, toh bisa menggunakan jalan lain, yang masih juga rimbun untuk ukuran kota. Banyak pohon keras dan tua yang diikat kain biru-hijau-kuning – warna KAA. Ya, tidak dicat, demi tak merusaknya.