Sementara mimbar yang berada dalam bangunan masjid itu sendiri, dahulunya berasal dari Palembang. Mimbar tersebut diberikan kepada Sinuwun Hanyokrokusumo atau Sultan Agung dari Adipati Palembang atas rasa tunduknya kepada Kerajaan Mataram. Mimbar tersebut diberikan pada saat Sunuwun selesai melakukan shalat Jumat di Mekah. Mimbar itu sendiri terbuat dari kayu wrungle, kayu yang juga digunakan menjadi cungkul pada makam Panembahan Senopati di makam Pajimatan Imogiri, Yogyakarta.
Pada halaman masjid terdapat dua bangsal pecaosan dengan atap berbentuk limasan pada sisi utara dan selatan masjid. Selain itu juga terdapat tugu jam yang didirikan pada masa Paku Buwana X. Secara arsitektural bangunan utama masjid terdiri dari lima komponen ruang, yakni Kuncungan, merupakan akses utama menuju masjid. Jagang, yakni kolam kecil yang mengelilingi serambi masjid. Bangunan induk dan juga tempat wudhu.
Di belakang masjid terdapat Makam Agung, yang merupakan makam para peletak dasar Kerajaan Mataram Islam, diantarannya adalah Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati dan Panembahan Hanyakrawati. Â Untuk menuju ke halaman makam terdapat sebuah gapura yang berada di selatan halaman masjid dan untuk masuk ke area makam harus melalui sebuah gapura paduraksa berdaun pintu dari kayu.
Makam ini mempunyai pagar keliling dari batu padas dan bata serta terdiri atas tiga bagian atau halaman, yaitu, halaman pertama terdapat sebuah bangsal tempat para abdi dalem berjaga dan mengurus adsministrasi peziarah. Halaman kedua terdapat empat buah bangunan yang biasanya dipakai peziarah untuk berganti pakaian dan untuk menunggu giliran berziarah. Halaman ketiga merupakan halaman utama yang dianggap paling sakral, karena di dalamnya terdapat makam raja-raja masa awal Kerajaan Mataram Islam dan beberapa raja masa berikutnya beserta kaum kerabat mereka.
Sedangkan tepat di halaman makam, terdapat Watu Gilang yang merupakan batu bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya saat bertahta di alas Mentaok atau Kotagede Yogyakarta sekarang ini. Watu gilang berada di dalam bangunan tembok tertutup seluas lebih dari 15 meter persegi.
Di sebelah barat daya pemakaman sekaligus merupakan bagian terakhir kompleks masjid terdapat pemandian atau dapat disebut Sendang Seliran yang terdiri dari Sendang Seliran Kakung dan Sendang Seliran Putri. Sendang Seliran konon dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati. Sedangkan meurut cerita, air yang digunakan untuk pemandian pria diperoleh dari sumber di dalam kompleks. Sementara untuk air di pemandian wanita diperoleh dari sumber pohon beringin yang terletak di depan gerbang utama.
Di dalam pemandian juga terdapat kolam ikan yang berisi ikan lele dengan ukuran sekitar 80-10 cm. Ikan lele yang berada di kolam ini juga termasuk langka karena memiliki warna putih dengan bercak-bercak hitam. Di dalam pemandian juga terdapat sumur yang dapat digunakan pengunjung untuk cuci tangan, cuci kaki dan cuci wajah karena airnya yang segar. Air yang berada dalam sumur juga dapat diminum langsung.
Adat dan Larangan bagi Peziarah
Jika peziarah ingin masuk dan mengunjungi makam utama, maka peziarah diwajbkan untuk menggunakan pakaian adat jawa. Bagi wanita, pakaian adat yang digunakan berupa kain jarik atau kemben tanpa menggunakan hijab. Sementara untuk laki-laki, pakaian adat yang digunakan adalah pakaian abdi dalem berupa kain jarik dan blangkon. Peziarah dapat menyewa pakaian tersebut di kantor sekretariatan.
Ada pula waktu kunjungan yang dibuka untuk umum pada hari senin, kamis, jumat, dan minggu dimulai dari pukul 13.00-16.00 sedangkan makam tidak dibuka untuk berwisata saat bulan ramadhan. Para peziarah wajib untuk melepas alas kaki saat memasuki makam, tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar dan tidak diperkenankan menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas saat sudah berada di dalam makam. Terdapat beberapa tokoh penting yang dimakamkan di tempat ini, seperti Panembahan Senopati, Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya beserta anggota keluarga yang lain.
Musibah