Seorang perempuan, tentu selalu menjadi objek inferioritas. Karena kita dari awal salah dalam memahami tentang gender itu sendiri. Kita masih dipojokkan dengan pengertian-pembedaan jenis-antara laki-laki dan perempuan bukan pada karakteristik emosionalnya (Mazaya, 2014).
Sehingga sering kali terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Jika hal ini dibiarkan lebih lanjut, apakah Indonesia akan tetap sevisi dan semisi untuk saling bersatu? Apakah Indonesia rela apabila nama ibu pertiwi diganti dengan bapak pertiwi?
Salah satu penyebab arus utama adanya pembedaan adalah paradigma dangkal kita memahami tentang gender (Gunawan dkk., 2021). Sebenarnya jika kita mau untuk berpikir jauh ke depan terkait gender yaitu sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan, kehidupan kolektif, peran, fungsi, dan tanggung jawab (Syamsiah, 2014). Dengan begitu, perempuan tidak lagi dianggap sebagai bahan tertawaan.
Ingatkah dengan film Captain Marvel yang dibintangi sekaligus dipimpin oleh seorang perempuan? Dialah Brie Larson sebagai Carol Danvers, Captain Marvel. Seorang mantan A.S. Pilot pesawat tempur Angkatan Udara dan anggota unit militer elit Kree bernama Starforce yang terlibat pertarungan di ruang angkasa.
Kemudian ia jatuh terkapar dan di dekatnya ada alat dari bangsa Kree yang meledak (kalau dalam filmya, Carol Danvers sengaja menembak alat tersebut agar tidak diambil alih oleh orang lain) dan ledakannya mengenai Carol Danvers hingga menyeluruh ke DNA nya. Membuatnya semakin kuat, proyeksi energi bertambah dari manusia biasa menjadi manusia. Akhirnya ia dipercaya sebagai pemimpin Mar-Vell.
Kiprah perempuan dalam memajukan bangsa Indonesia tidaklah kecil, sebut saja tokoh paling ternama Raden Ajeng Kartini yang menjadi pelopor gerakan wanita dalam hal pendidikan. Kemudian lahirlah beberapa gerakan-gerakan feminis perempuan untuk menghilangkan paradigma dangkal tersebut yaitu Poetri Mahardika (1912), Perserikatan Perhimpunan Istri Indonesia (1928), Persatuan Wanita Republik Indonesia (1954), Perempuan Islam dan Nasionalis (1955), Suara Ibu Peduli (1998), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (1998), dll.
Dalam kaca mata Islam, perempuan tidak dipandang secara sebelah. Ia diperlakukan istimewa. Tuhan menyebutnya dalam al-Qur'an dengan surat an-Nisa' yang kemudian ditarik pada sebuah kajian "kesetaraan gender". Kesetaraan gender di sini selalu menjadi bahan kajian menarik di kampus, organisasi, media, maupun tongkrongan anak muda.
Setara yang dimaksud adalah memiliki hak masing-masing tanpa perlu saling tindih. Sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Andik Wahyun Muqoyyidin,“Gender adalah persoalan nature dan nurture. Nature terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, demikian juga nurture. Hanya saja, jika yang nature bercorak kodrati, maka nurture merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya masyarakat” (Muqoyyidin, 2013).
Dari apa yang kita pahami di atas, dapat diunderlinde bahwa sosok perempuan bukanlah suatuhal yang harus kita letakkan di bawah. Fisik dan jenis kelamin bukanlah hal yang harus dipandang pertama kali melainkan seberapa besar tanggung jawab yang dimiliki.
Pertanyaannya, adakah pekerjaan laki-laki yang tidak bisa dikerjakan oleh seorang perempuan? Jika penulis boleh mengomentari, pertanyaannya kurang tepat. Semua pekerjaan laki-laki bisa dikerjakan oleh perempuan, baik yang bersifat keras atau lunak. Perempuan kerja ke luar negeri, ada. Perempuan menjadi tulang punggung, ada. Perempuan nguli, ada. Perempuan sebagai presiden, ada. Maka kiranya sangat pantas predikat heroik diberikan kepada perempuan.