Mohon tunggu...
Teza Salih Mauludin
Teza Salih Mauludin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ruang berbagi dan berdiskusi

Dari tulisan, oleh tulisan, untuk pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apa yang Membuat Konvensi Ketatanegaraan Ditaati di Indonesia?

20 Februari 2024   16:17 Diperbarui: 20 Februari 2024   17:26 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara hukum konvensi tidak mempunyai daya paksa sehingga tidak terdapat sanksi hukum atau sering disebut Lex Imperfecta, upaya hukum atau lembaga  yang dapat secara langsung digunakan untuk mendorong atau memaksa penataan terhadap konvensi. Ketaatan terhadap konvensi ketatanegaraan tentunya dipengaruhi oleh faktor lain yang tentunya tidak kalah penting dengan sanksi.

Menurut A.V. Dicey terdapat dua faktor yang dijadikan dasar alasan konvensi ditaati yaitu The fear of imfeachment (ketakutan akan di impeachment) dan The force of public opinion (kekhawatiran akan tekanan pendapat publik). Pertama, the fear of impeachment. Namun menurut Dicey, Impeachment bukanlah faktor yang memaksa karena impeachment bukanlah konvensi melainkan peraturan hukum. 

Perbedaannya hanya pelanggarannya diadili oleh suatu peradilan khusus sedangkan konvensi sebagai kaidah etika tidak dapat dipaksakan melalui peradilan, di mana lembaga yang ada dalam sejarah karena sudah ditinggalkan di Inggris. Menurut Bagir Manan, pendapat Dicey tersebut sangat sempit bagaimana dengan negara-negara yang mengenal lembaga Impeachment. 

Kedua menaati konvensi berdasarkan pendapat umum, hal ini disebabkan banyak aturan tingkah laku yang didukung oleh pendapat umum tapi dilanggar setiap hari karena tidak puas. Dicey berkesimpulan bahwa penaatan konvensi adalah "the force of law" karena pelanggaran terhadap prinsip dasar konstitusi dan konvensi hampir selalu membawa secara langsung pelanggar ke dalam pertikaian dengan pengadilan dan hukum negara, sehingga daya paksa hukumnya yang menjadi dasar penaatan konvensi. Menurut Sri Soemantri, ditaati atau tidaknya konvensi didasarkan atas kesadaran bernegara dan bermasyarakat. 

Adapun Pendapat lain mengenai faktor yang mendorong atau memaksa ketaatan terhadap Konvensi Ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan antara lain :

1)Konvensi ditatai dalam rangka memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, Konvensi merupakan salah satu upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi. 

2)Konvensi ditaati, karena hasrat atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional (Constitusional Goverment)

3)Konvensi ditaati, karena setiap pelanggaran akan membawa atau berakibat pelanggaran terhadap kaidah hukum 

4)Konvensi ditaati, karena didorong oleh hasrat atau keinginan agar roda pemerintahan negara yang kompleks tetap dapat berjalan secara tertib 

5)Konvensi ditaati, karena takut atau khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu, seperti impeachment, atau takut terkena sanksi politik tertentu, seperti kehilangan jabatan 

6)Konvensi ditaati, karena pengaruh pendapat umum (public Opinion). Pelanggaran terhadap Konvensi akan menimbulkan reaksi umum, misalnya kehilangan dukungan masyarakat. 

Dari Pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan menyimpulkan bahwa ditaatinya konvensi bukan melihat konvensi sebagai hukum tertinggi dalam negara melainkan karena pertimbangan politik.  Selain itu, penulis menambahkan alasan ditaatinya sebuah konvensi ketatanegaraan dalam penyelenggaraan negara yang menguktip dari Prof. La Ode Husen karena mentaati konvensi ketatanegaraan merupakan suatu kebutuhan bagi penyelenggara negara. 

Eksistensi beberapa konvensi ketatanegaraan baik yang berbentuk kesepakatan, maupun kebiasaan ketatanegaraan tidak terlepas dari adanya kekuatan politik. Pada saat akan terbentuknya konvensi ketatanegaraan terutama dalam bentuk kesepakatan, kekuatan politik sangat menentukan. 

Pihak yang menginginkan terbentuknya konvensi ketatanegaraan harus mempunyai kekuatan politik yang besar agar konvensi ketatanegaraan tersebut dapat ditaati dan diberlakukan. Apabila pihak yang menginginkan terbentuknya suatu konvensi ketatanegaraan mempunyai kekuatan politik yang lemah secara otomatis konvensi tersebut akan mendapat "serangan" atau penolakan dari berbagai pihak. 

Kemudian mengenai Teori yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tersebut dapat atau tidaknya diterapkan maupun terjadi di Indonesia akan penulis bahas sebagai berikut. Pertama teori yang dikemukakan oleh A.V. Dicey. Pendapat Dicey ini masih bersifat umum, artinya teorinya itu belum merujuk pada konvensi ketatanegaraan suatu negara. Untuk menjawabnya perlu kita lihat lebih dekat kedalam sistem pemerintahan di Indonesia. 

Tentunya berbeda, Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil dengan negara yang sitem pemerintahan parlementer. Sebagai contoh dalam mekanisme pemakzulan seorang kepala pemerintahan tentunya berbeda. Dalam sistem hukum Indonesia tidak mengenal lembaga Inpeachment sebagai lembaga yang dapat menjatuhkan seorang kepala pemerintahan akan tetapi walaupun di Indonesia  tidak ada lembaga Inpeachment  tetapi inpeachment ini dapat dilakukan. 

Sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia inpeachment dapat dilakukan tetapi bukan atas pelanggaran terhadap Konvensi Ketatanegaraan, melainkan pelanggaran sebagimana yang dimaksud Pasal 7 B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, inpeachment bila dilihat dalam penyelenggaraan Negara Indonesia belum dapat dikatakan sebagai alasan yang mutlak bagi penyelenggara negara untuk mentaati Konvensi Ketatanegaraan. 

Selanjutnya mengenai the force of public opinion dalam praktek penyelenggaran negara Indonesia tentunya berbeda. Apalagi ketika masa Orde Baru dimana kekuasaan penyelenggaran negara (pemerintah) sangat besar sehingga rakyat menjadi lemah. Hal ini yang menyebabkan tidak terlalu berpengaruhnya pendapat umum terhadap tindakan yang dilakukan pemerintah. 

Beda halnya faktor kedua ini pada masa sekarang yaitu pasca reformasi 1998 dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi, yang mana didalam penyelenggaraan negara prinsip demokrasi mulai dilaksanakan dan pendapat atau reaksi umum mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap kedudukan penyelenggara negara (Pemerintah). 

Selanjutnya teori yang dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan dapat diterapkan atau tidaknya di Indonesia. Ada dua poin kesamaan teori dengan yang dikemukakan oleh A.V. Dicey yaitu mengenai Konvensi ditaati, karena takut atau khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu, seperti impeachment, atau takut terkena sanksi politik tertentu dan Konvensi ditaati, karena pengaruh pendapat umum (public Opinion). 

Mengenai ke empat poin teori lainnya, menurut penulis teori tersebut dapat diterapkan di Indonesia. Penulis melihat bahwa muatan dari isi teori tersebut sesuai dan cocok dengan kondisi sistem pemerintahan Indonesia. Seperti contoh demi terwujudnya kedaulatan rakyat sebagaimana didalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 maka konvensi dapat dijadikan alasan pentaatan demi terpeliharanya dan terwujudnya prinsip demokrasi. 

Selain itu dengan ditaatinya sebuah konvensi dapat memelihara tradisi pemerintahan konstitusional. Oleh karena itu, konvensi ketatanegaraan layak dipahami, dimaklumi dan bahkan dijalankan  agar roda pemerintahan negara yang kompleks tetap dapat berjalan secara tertib . Karena apabila tidak, maka mungkin saja akan dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan negara yang kompleks, terjadinya pelanggaran kaidah hukum dan yang lebih parah dapat mengancam tatanan demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun