Mohon tunggu...
Nevi Zuairina
Nevi Zuairina Mohon Tunggu... Politisi - Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Anggota Komisi V DPR RI Periode 2019 - 2024 Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Daerah Pemilihan Sumatera Barat II

Selanjutnya

Tutup

Money

Gagal Paham Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi

9 September 2022   13:37 Diperbarui: 9 September 2022   16:26 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir pekan lalu, Saya menulis di Blog Kompasiana tentang sikap dan penolakan saya terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sempat menjadi wacana dan diskusi ramai di tengah media dan ruang publik. Komentar saya yang sama terkait penolakan realisasi rencana Pemerintah Pusat tersebut juga telah beberapa kali dikutip oleh media baik lokal maupun nasional serta online dan cetak di berbagai platform yang tersedia.

Intinya adalah penegasan sikap saya pribadi dan juga Partai Keadilan Sejahtera sebagaimana juga disampaikan oleh Presiden DPP PKS Ahmad Syaikhu yang menolak secara tegas sikap pemerintah untuk (pada saat itu) untuk menaikkan harga bahan bakar minyak. Kami di PKS beralasan, apapun argumen yang dikemukakan oleh pemerintah terkait kenaikan harga BBM bersubsidi tidaklah tepat dan dapat diterima. Kenapa ?, karena pada saat bersamaan ekonomi masyarakat kita, khususnya masyarakat bawah masih belum sepenuhnya pulih setelah dua tahun lebih menghadapi krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

Disamping itu, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah tersebut bukanlah jalan satu satunya untuk menyelamatkan APBN yang disebut pemerintah kewalahan menanggung beban subsidi yang mencapai Rp. 502 Trilyun pada APBN tahun 2022.

Dalam kesempatan Sidang Tahunan DPR dan DPD RI pada tanggal 16 Agustus silam di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Pemerintah menyebutkan bahwa beban subsidi yang harus dialokasikan dalam APBN Tahun 2022 yang tengah berjalan mencapai Rp.502 Trilyun. Bahkan besaran subsidi energi ini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya yang konon disebabkan fluktuasi harga minyak mentah di pasaran dunia. Patut diketahui pula bahwa harga minyak di pasaran ekspor impor dunia cenderung berfluktuasi dan tidak stabil karena berbagai faktor termasuk konflik bersenjata Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung lebih dari delapan bulan.

Namun, sebagaimana saya katakan diawal tadi, sikap pemerintah yang mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi justru tidak tepat waktu dan momennya.

Kami di DPP PKS memiliki data yang dapat kami pertanggungjawabkan bahwa 80 persen penerima subsidi energi yang dikucurkan oleh pemerintah pada tahun anggaran 2022 ini adalah kelompok masyarakat yang sebenarnya mampu untuk membeli energi non subsidi. Artinya, selama ini telah terjadi kekeliruan dan kesalahan fatal dalam hal pengelolaan subsidi energi kita baik BBM, Listrik dan Gas. Subsidi energi kita selama ini justru tidak tepat sasaran dan dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak untuk mendapatkannya.

Tentu menjadi pertanyaan kemana dan bagaimana fungsi pengawasan pemerintah ? bukankah subsidi ini seharusnya dinikmati karena diberikan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu. Subsidi adalah bentuk kepedulian negara kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli BBM, Gas dan Listrik sesuai harga pasar.

Namun faktanya terlalu banyak media yang menampilkan bahwa penikmat subsidi justru adalah kelompok orang yang mampu untuk membeli BBM Non Subsidi. Kita masih ingat beberapa postingan di sosial media dan media televisi yang memberitakan bahwa kendaraan dengan kapasitas mesin besar justru malah ikut dalam barisan antrian membeli BBM bersubsidi serta masyarakat golongan menengah keatas yang membeli gas ukuran 3 KG. Padahal itu seharusnya menjadi hak rakyat miskin karena negara memberikan subsidi kepada mereka akan hal itu. Seharusnya pemerintah bukan menaikkan harga BBM, tetapi justru mengatur distribusi BBM subsidi agar tepat sasaran.
 Karena dengan menaikkan harga bahan bakar subsidi, justru makin membuat rakyat kecil menjadi makin terjepit dalam kesusahan. Menaikkan harga BBM, dalam hemat kami bukanlah solusi dari persoalan ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi. Seharusnya pemerintah melakukan pengelolaan dan penataan ulang pemberian subsidi dengan mengatur dan mengawasi pelaksanaannya di lapangan agar penerima dan penikmat subsidi energi baik BBM, Gas dan Listrik memang masyarakat yang semestinya menikmati.

Pemerintah juga seharusnya menghitung bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak yang telah mereka tetapkan pada Sabtu siang pekan lalu telah membawa efek domino dan menyebabkan kenaikan harga bahan pokok akibat biaya distribusi menjadi membengkak. Hal itu bahkan sudah diprediksi jauh jauh hari sebelumnya bahkan ketika wacana kenaikan harga BBM ini masih menjadi pembicaraan bagi sebagian kalangan.

Rasanya saya perlu mengingatkan Pemerintah Pusat bahwa dampak langsung dari isu kenaikan BBM ini memicu kenaikan harga bahan pokok yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Sudah menjadi hukum alam ketika BBM naik, maka harga bahan pokok dan ongkos produksi akan ikut naik.

Hari ini saja, hanya beberapa hari pasca pengumuman pemerintah yang resmi menaikkan harga BBM, sudah terjadi kenaikan harga bahan pokok dan biaya transportasi di berbagai daerah. Pemerintah menggunakan kata "Penyesuaian Harga" untuk memperhalus bahasa Kenaikan yang kemudian diikuti oleh "penyesuaian dan kenaikan" ongkos di berbagai daerah.

Dengan kondisi perekonomian yang masih belum normal akibat pandemi, tentu saja kenaikan ini akan memicu peningkatan inflasi yang sangat besar. Bahkan, daya beli masyarakat akan semakin jatuh yang menyebabkan angka kemiskinan semakin melonjak.

Saya mendapatkan informasi bahwa dampak dari kenaikan harga BBM ini diprediksi akan mendongkrak tingkat inflasi hingga mencapai 6-6,5 persen year on year. Jika ini  benar terjadi, maka akan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015.

Disisi lain saya dapat memahami bahwa kuota BBM jenis Pertalite yang disediakan untuk tahun anggaran 2022 ini akan segera habis pada bulan September ini. menjadi masalah dan sesuatu yang luar biasa karena pandemi Covid-19 berakhir lebih cepat dari prediksi konsumsi yang disusun oleh DPR dan Kementerian ESDM pada tahun anggaran 2021 silam. Namun realisasi penggunaan subsidi yang tepat sasaran hanya 20 persen saja. Artinya, jika kuota sebesar 23,05 juta kiloliter itu dimanfaatkan dengan baik, maka justru kuota BBM subsidi akan mampu bertahan hingga akhir tahun 2022 yang akan datang.

Karena itu, dalam kami di Fraksi PKS sudah bersepakat bahwa sikap pemerintah yang tetap kukuh menaikkan BBM harus ditolak dan kami minta untuk dikaji ulang sampai kondisi kondusif sambil terus memperbaiki pola pengawasan penyaluran subsidi baik berupa gas, listrik dan BBM.

Saya dan teman teman Fraksi PKS menilai kondisi ekonomi yang masih lemah akan menjadi tambah susah karena pemerintah telah menetapkan kebijakan yang tidak pro rakyat dengan memberi  beban baru buat rakyat yaitu kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga BBM ini.

Saya memandang meski Pemerintah Pusat mengalihkan subsidi energi menjadi bantuan sosial berupa BLT hanyalah sebuah program sementara dan tidak akan mampu mengatasi merosotnya daya beli masyarakat karena ada dampak ikutan berupa inflasi yang berakibat pada naiknya harga-harga barang, baik di sektor konsumsi maupun produksi. Sehingga dapat dipastikan efek subsidi BLT ini akan sangat minimal.

Pemerintah mestinya belajar pada pengalaman bahwa pemberian subsidi BLT sebesar Rp 150 ribu per bulan per keluarga ini hanya akan meng-cover kenaikan biaya Pertatile saja per bulannya. Kalau secara sederhana, misalnya dalam sehari, rata-rata sebuah motor memerlukan 2 liter Pertalite. Berarti dalam sebulan akan membutuhkan 60 liter. Ketika harga Pertalite naik sebesar Rp 2350 per liter, maka akibatnya kenaikan pengeluaran bulanan untuk Pertalite menjadi Rp 141 ribu. Jumlah ini sudah hampir mendekati besaran BLT yang sebesar Rp 150 ribu. Belum lagi kalau dalam keluarga itu ada lebih dari satu motor. Tentu sama sekali tidak akan meng-cover kenaikan pengeluaran akibat kenaikan Pertalite ini.

Berkaca pada penerapan program pemberian BLT selama ini, hal yang belum selesai dan selalu menjadi masalah adalah akurasi data dan keterjangkauan distribusi BLT kepada pihak yang benar benar harus menerima. Lembaga riset ekonomi INDEF pernah menyuarakan bahwa 20 persen kabupaten/kota atau hampir 100 kabupaten/kota justru tidak melakukan pembaruan data kependudukan selama pandemi sehingga bansos yang diberikan tidak tepat sasaran.

Itu baru yang pertama, selanjutnya juga ada temuan dari BPK yang menyatakan bahwa Rp 6,93 triliun anggaran Bansos yang selama ini disalurkan tidak tepat sasaran dan ditemukan 21 juta data ganda. Hal ini tentu akan menyebabkan adanya masyarakat kurang mampu yang tidak mendapatkan BLT. Belum lagi wilayah Indonesia yang begitu luas dengan daerah pedalaman yang sulit dijangkau oleh PT Pos Indonesia. Ini tentu akan menghalangi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.

Efek lanjutan dari kenaikan BBM yaitu inflasi dan kenaikan harga-harga barang belum ada bantalannya. Imbas kenaikan BBM jelas akan menaikkan biaya transportasi dan langsung akan menaikkan harga-harga barang. Dan pasti dampaknya akan langsung dirasakan rakyat.  Pendapatan mereka akan menurun karena daya beli secara umum turun. Ini yang belum dipikirkan Pemerintah. Dengan demikian, meski mendapat BLT, masyarakat kurang mampu ini tidak akan mampu menahan keseluruhan dampak ekonomi kenaikan harga Pertalite, Solar subsidi dan BBM nonsubsidi.

Tentu kami sangat menyadari bahwa sikap kami akan mendapatkan cemoohan dari berbagai kalangan yanhg tidak setuju dengan apa yang kami sampaikan. Namun sebagai kelompok opisisi kami berhak menyampaikan kritik kepada pemerintah atas kebijakan yang tidak tepat sasaran. Kami bukan tidak memahami bahwa beban APBN sudah sangat berat.

Namun pengurangan subsidi BBM bukanlah langkah yang seharusnya dilakukan. Selalu ada solusi dengan mendisiplinkan pengguna kendaraan dan mengelola pelaksanaan subsidi dengan ketat dan baik serta memberikan ketegasan. Pemerintah harus membatasi dengan ketat kendaraan mahal untuk mengkonsumsi BBM subsidi. Sudah banyak dampak yang kita saksikan akibat tingginya harga BBM yang mengakibatkan usaha kerakyatan gulung tikar termasuk pada segmen petani dan nelayan. Untuk itu, kami meminta pemerintah bijak untuk mencabut keputusan menaikkan BBM bersubsidi. Untk itu, kita mendesak agar pemerintah segera menerbitkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM.


Sebenarnya Ini adalah pilihan yang paling rasional di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih benar, akibat pandemi Covid-19 serta kenaikan harga barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, dan lain-lain.  Apalagi kalau sekarang ini penyaluran BBM bersubsidi hampir sebanyak 60 persen tidak tepat sasaran.
 
Belum lagi adanya dugaan kebocoran BBM bersubsidi ke industri dan ekspor ilegal ke negara tetangga. Jika pembatasan dan pengawasan BBM bersubsidi ini dapat dilakukan dengan baik, maka negara bisa menghemat APBN lebih dari 50 persen.
Selain itu, kita juga meminta agar Presiden tidak membanding-bandingkan harga BBM di Indonesia dengan di negara maju. Namun cukup membandingkannya dengan harga BBM di negeri tetangga seperti Brunei dan Malaysia.
 
Harga BBM di negara serumpun seperti Brunei dan Malaysia jauh lebih murah dibanding Indonesia. Contoh, harga bensin di Brunei untuk RON 90 sebesar Rp3.800 per liter, dan untuk bensin RON 95 sebesar Rp6.900 per liter. Di kita bensin Pertalite (RON 90) dijual dengan harga Rp7.650 per liter. Karenanya kalau Pemerintah peka dan memiliki sense of crisis, maka regulasi terkait pembatasan penggunaan BBM bersubsidi ini, baik solar maupun pertalite, penting untuk segera ditetapkan. Jangan tertunda-tunda seperti sekarang ini.
 
Karena beban subsidi yang tidak tepat sasaran, akan jalan terus kalau revisi Perpres dimaksud tidak terbit-terbit. Semakin lama kita menunda pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, maka akan semakin lambat efisiensi anggaran dilakukan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun