Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda
Teuku Parvinanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan aneh nan menyimpang yang menyengsarakan rakyat

Nulis aja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pengkhianatan Demokrasi

22 Agustus 2024   08:45 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:18 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam idealisme demokrasi, alat negara diciptakan sebagai pelayan rakyat, mengemban amanah untuk melindungi dan memajukan kepentingan bersama. Namun, kenyataan politik di Indonesia memperlihatkan wajah lain dari demokrasi---wajah yang dipenuhi oleh ambisi kekuasaan, di mana alat negara dijadikan senjata untuk melanggengkan kekuasaan, bukan lagi melayani rakyat. Fenomena ini semakin nyata ketika kita melihat bagaimana kekuasaan digunakan untuk kepentingan elite politik, meninggalkan rakyat hanya sebagai penonton dari sirkus politik yang terus berjalan tanpa henti.

Pemilu dan Mahkamah Konstitusi: Awal dari Kontroversi
Pemilu seharusnya menjadi pesta demokrasi, di mana rakyat diberi kebebasan untuk menentukan masa depan bangsa. Namun, pada kenyataannya, pesta demokrasi ini berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang dipenuhi intrik dan manipulasi. 

Puncaknya terlihat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang dianggap kontroversial dan bertentangan dengan akal sehat. Keputusan ini menimbulkan kecurigaan besar, bahwa hukum dan keadilan telah dikorbankan demi ambisi politik segelintir orang. Rakyat yang seharusnya menjadi subjek utama demokrasi, justru menjadi korban dari permainan kekuasaan yang tidak berkesudahan.

Keputusan kontroversial MK ini memantik kritik tajam dari berbagai kalangan. Namun, suara-suara tersebut tenggelam oleh kekuatan dahaga kekuasaan yang tak kunjung usai. Para pemegang kekuasaan, dengan dukungan fanatik buta, berhasil membelokkan arah diskusi dan mengarahkan perhatian publik sesuai dengan kepentingan mereka. Ini menjadi bukti nyata bahwa demokrasi telah berbalik arah; bukan lagi rakyat yang mengendalikan alat negara, melainkan alat negara yang mengendalikan rakyat demi menjaga status quo kekuasaan.

Transaksi Politik dan Bancakan Kekuasaan
Pemilu presiden hanyalah awal dari sirkus politik yang merendahkan nilai-nilai demokrasi. Setelah pemilu selesai, partai-partai politik yang tadinya bersaing, secara terang-terangan menunjukkan ketidakrelaan mereka untuk berada di luar lingkar kekuasaan. Transaksi politik terjadi di mana-mana, menunjukkan bagaimana kepentingan rakyat dikorbankan demi memuaskan ambisi kekuasaan.

Rakyat yang menanti perubahan dari hasil pemilu, hanya bisa melongo melihat wakil-wakilnya asyik mencari peluang untuk menikmati kue kekuasaan. Keputusan politik yang seharusnya didasarkan pada kepentingan rakyat, berubah menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan di antara para elite politik. Kenaifan membuat banyak orang berpikir bahwa sirkus ini akan berakhir pada pilpres, namun nyatanya masih banyak potongan kue kekuasaan yang belum terbagi. Pilkada serentak berikutnya akan menjadi panggung baru bagi para aktor politik untuk memperebutkan sisa-sisa kekuasaan.

Pengkhianatan oleh Trias Politica
Penggunaan alat negara untuk kepentingan kekuasaan mencerminkan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip trias politica yag dilakukan oleh komponen trias politica, di mana kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif seharusnya saling mengawasi dan mengimbangi. 

Namun, di Indonesia, ketiga kekuatan ini seakan kompak bersatu untuk mempertahankan kekuasaan, melupakan tugas mereka untuk melindungi rakyat. Persatuan semacam ini bukanlah hal yang patut dibanggakan, melainkan sesuatu yang memalukan dan menjijikkan, karena bertentangan dengan semangat kemerdekaan dan cita-cita luhur para pendiri bangsa.

Ketika republik ini diperjuangkan dan diproklamasikan, harapan para pendiri bangsa adalah menyatukan Nusantara dalam sebuah negara yang adil dan makmur, sebagaimana tercermin dalam pembukaan UUD 1945. 

Baca juga: Istana dan Gubuk

Namun, apa yang kita saksikan sekarang adalah pengkhianatan terhadap cita-cita tersebut. Jika dunia adalah panggung sandiwara, maka Indonesia adalah pusatnya, di mana drama politik dimainkan tanpa rasa malu, di atas punggung rakyat yang semakin lama semakin terpinggirkan.

Bebas Dari Penjajah Asing, Kini Dijajah Bangsa Sendiri
Demokrasi seharusnya memberikan rakyat kekuasaan, tetapi di tangan elite yang haus kekuasaan, demokrasi hanya menjadi topeng untuk menyembunyikan ambisi pribadi. Alat negara, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru berubah menjadi alat kekuasaan yang menindas. 

Ketika ini terjadi, rakyat tak lagi menjadi subjek dalam negara, melainkan objek yang diperdaya oleh kekuasaan. Dan hingga sirkus ini berakhir, rakyat hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, demokrasi akan kembali kepada esensinya yang sejati: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan dari... ; oleh...;..., untuk...

(*catatan kecil: tulisan ini dijamin oleh UUD 1945 sebagai hak rakyat untuk bersuara dan berpendapat, serta dibuat dengan sopan dan santun dibanding kenyataan yang terjadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun