Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda
Teuku Parvinanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan aneh nan menyimpang yang menyengsarakan rakyat

Nulis aja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Oposisi Ditinggal, Rakyat Tanpa Suara

20 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:17 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS))

Ketika partai-partai yang sebelumnya kritis terhadap pemerintah mulai bergeser mendekati kekuasaan, fungsi oposisi yang vital dalam demokrasi menjadi lemah. 

Ini bisa menyebabkan politik Indonesia berubah menjadi dominasi satu kekuatan yang sulit untuk dikritisi dan diawasi oleh penyeimbang yang memadai.

Dinamika Oposisi di Indonesia: Pergeseran dan Kegagalan
Sejatinya oposisi berangkat dari ketidaksetujuan. Latar belakang dan pelakunya bisa berbeda-beda sesuai dengan periode kekuasaan yang berlangsung pada saat itu. 

Dalam konteks terkini, oposisi tumbuh dari rasa kecewa partai pendukung Jokowi, PDIP. Namun, peralihan ini tidak disertai dengan kejelasan visi dan misi oposisi yang kuat, yang mengakibatkan lemahnya koordinasi dan efektivitas gerakan oposisi tersebut.

Di sisi lain, PKS, yang selama ini dikenal sebagai oposisi konsisten, tak disangka membuat gebrakan dengan merapat ke koalisi Jokowi. 

Barisan pendukung yang kian gemuk sementara barisan oposan terus menipis, membuat rasa ragu semakin besar, politik tak lagi jadi alat untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, tetapi menjadi alat tawar-menawar semata alias transaksional.

Oposisi di Negara Lain
Jika kita membandingkan dengan negara-negara ASEAN, kasus serupa terjadi di Thailand dan Kamboja, di mana oposisi politik ditekan atau diabaikan. 

Di Kamboja, pemerintahan Hun Sen selama bertahun-tahun menekan oposisi, yang akhirnya membuat negara tersebut mendekati status authoritarianism. 

Kalau di Thailand, kudeta militer dan tekanan terhadap partai oposisi berulang kali menimbulkan ketidakstabilan politik dan merugikan demokrasi.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan perbedaan yang kontras. Di AS, meskipun polarisasi politik sangat tajam, oposisi (dalam hal ini Partai Demokrat dan Republik) tetap memainkan peran kritis dalam pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan. 

Bahkan ketika satu partai mendominasi, oposisi tetap memiliki suara yang signifikan melalui mekanisme checks and balances yang kuat, seperti di dalam Kongres dan Mahkamah Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun