Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda
Teuku Parvinanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan aneh nan menyimpang yang menyengsarakan rakyat

Nulis aja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Oposisi Ditinggal, Rakyat Tanpa Suara

20 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:17 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS))

Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia menghasilkan kemenangan bagi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang menandai awal dari perubahan signifikan dalam lanskap politik nasional. 

Manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya mengubah peta koalisi politik, tetapi juga menggeser keseimbangan kekuatan antara pendukung pemerintah dan oposisi.

Beberapa partai yang sebelumnya mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai beralih ke barisan oposisi karena kecewa dengan manuver politiknya. 

Sementara itu, partai-partai lain tetap setia, bahkan semakin erat mendukung Jokowi. Di sisi lain, partai-partai oposisi yang selama ini kritis terhadap pemerintah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan tanda-tanda goyah dan merapat ke arah Jokowi.

Perubahan ini memunculkan pertanyaan mendalam: Apakah politik Indonesia menuju dominasi satu kekuatan tanpa penyeimbang? 

Apakah fungsi check and balances, yang menjadi landasan demokrasi, kini terancam hilang? Dan yang paling penting, bagaimana nasib rakyat di tengah dinamika politik yang semakin tidak jelas arah ini?

Peran Oposisi
Dalam teori politik, keberadaan oposisi yang kuat adalah komponen esensial dari sistem demokrasi yang sehat. Giovanni Sartori, dalam Parties and Party Systems, menekankan bahwa oposisi berfungsi sebagai mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan yang dominan. Ia memungkinkan munculnya debat publik, memastikan transparansi, dan menjaga akuntabilitas. 

Dalam model klasik demokrasi liberal seperti yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu, trias politica tidak hanya menuntut pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga membutuhkan oposisi politik sebagai alat kontrol horizontal yang mengawasi pemerintahan.

Baca juga: Istana dan Gubuk

Oposisi bukan hanya sekadar penyeimbang, tetapi juga representasi alternatif dari kebijakan dan visi politik. 

Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah bisa menjadi otoriter, dengan keputusan-keputusan yang diambil tanpa perlu mempertimbangkan kritik atau masukan dari pihak lain. Hal ini, pada gilirannya, dapat mengarah pada kebijakan yang tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat.

Di Indonesia, sistem politik yang semakin terfragmentasi ini berpotensi mengancam fungsi dasar tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun