Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda
Teuku Parvinanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan aneh nan menyimpang yang menyengsarakan rakyat

Nulis aja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Beda Nasib Indonesia

17 Agustus 2024   18:08 Diperbarui: 21 Agustus 2024   18:23 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

17 Agustus 1945, para tokoh perjuangan bangsa sepakat membulatkan tekad untuk memproklamasikan kemerdekaan dari penjajah demi cita-cita mulia, menentukan sendiri nasib bangsa dalam mencapai kemajuan. 79 tahun kemudian, cita-cita itu belum sepenuhnya terwujud. Indonesia masih bersusah payah mencapai kemajuan yang bukan sekadar kalimat normatif atau klaim politik.

Tidaklah adil jika membandingkan Indonesia dengan Amerika Serikat yang merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia (1776). Cukuplah dibandingkan dengan Korea Selatan (1945), India (1947), dan Singapura (1965-tetangga ASEAN). Apakah kita sebagai bangsa cukup menyadari ketertinggalan dari ketiga tetangga Asia itu?

Lompatan Ekonomi Korea Selatan dan Singapura
Korea Selatan dan Indonesia sama-sama merdeka pada tahun 1945. Namun, jika kita melihat kondisi ekonomi kedua negara saat ini, perbedaannya sangat mencolok. Korea Selatan, yang pernah hancur akibat Perang Korea (1950-1953), kini telah berkembang menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Pada tahun 2023, PDB Korea Selatan mencapai sekitar $1,7 triliun, menempatkannya di peringkat ke-10 ekonomi terbesar di dunia. Korea Selatan dikenal sebagai pusat teknologi dan industri kreatif, dengan merek-merek global seperti Samsung, Hyundai, dan LG. Indeks daya saing global (Global Competitiveness Index) Korea Selatan juga mencerminkan kemajuan ini, dengan peringkat 13 dunia pada tahun 2023.

Singapura, yang baru merdeka pada tahun 1965, juga telah menunjukkan kemajuan luar biasa. Dalam waktu 20 tahun setelah merdeka, Singapura berhasil mengubah dirinya dari negara kecil yang miskin menjadi pusat keuangan dan perdagangan internasional. Dengan PDB per kapita mencapai $98.526 pada tahun 2023, Singapura menempati urutan ke-4 tertinggi di dunia. Kepemimpinan yang visioner, pemerintahan yang bersih dari korupsi, serta penekanan pada pendidikan dan inovasi menjadi kunci kesuksesan Singapura. Selain itu, Singapura menduduki peringkat 1 dalam Indeks Kebebasan Ekonomi (Economic Freedom Index) dan peringkat 1 di Asia dalam indeks daya saing global pada tahun 2023.

Baca juga: Istana dan Gubuk

Kebangkitan India sebagai Kekuatan Global
India, yang merdeka dua tahun setelah Indonesia pada 1947, juga telah mengalami perkembangan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun masih menghadapi tantangan kemiskinan dan ketimpangan sosial, India kini menjadi kekuatan ekonomi dan teknologi yang dihormati dunia. Pada tahun 2023, PDB India mencapai sekitar $3,5 triliun, menjadikannya ekonomi terbesar ke-5 di dunia. Sektor teknologi informasi (TI) India telah menempatkan negara ini sebagai pemimpin global dalam layanan TI dan outsourcing. Bahkan, lebih dari 60% pasar layanan TI dunia didominasi oleh perusahaan India. Indonesia pun turut merasakan dampaknya dengan mayoritas perusahaan teknologi di Indonesia yang menggunakan sistem TI dari India, hingga SDM pun turut diimpor ke Indonesia.

Refleksi Bangsa
Di sisi lain, Indonesia masih bergulat dengan berbagai masalah yang menghambat kemajuan. Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap ketertinggalan Indonesia antara lain:

1. Disiplin Rendah
Kedisiplinan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari etos kerja hingga tertib lalu lintas, masih menjadi tantangan besar. Indonesia menempati urutan ke-63 dari 63 negara dalam World Talent Ranking IMD 2023 dalam hal kedisiplinan kerja dan etos kerja. Disiplin belum menjadi budaya, ditambah penegakan hukum yang masih setengah hati. Kurangnya disiplin ini berdampak langsung pada produktivitas dan efisiensi di berbagai sektor.

2. Korupsi Tinggi
Korupsi telah menjadi penyakit kronis di Indonesia yang merusak fondasi ekonomi dan sosial negara. Menurut Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index) 2023 dari Transparency International, Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara, dengan skor 37 dari 100. Meskipun ada upaya pemberantasan, praktik korupsi masih marak terjadi di berbagai level pemerintahan dan sektor swasta. Birokrasi Indonesia telah kehilangan moral untuk membedakan yang salah dan benar, tak pelak gratifikasi dianggap sebagai bagian dari etika sosial.

3. Infrastruktur Belum Merata
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membangun infrastruktur, kesenjangan infrastruktur antarwilayah masih menjadi masalah besar. Dalam Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index) 2023 dari Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 46 dari 160 negara. Banyak daerah yang masih sulit diakses dan tertinggal dalam hal pembangunan.

4. Sistem Pendidikan Belum Maksimal 
Sistem pendidikan di Indonesia masih belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang siap bersaing di kancah internasional. Dalam laporan PISA (Programme for International Student Assessment) 2018, Indonesia berada di peringkat 72 dari 78 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Kurikulum yang berubah-ubah, kualitas pengajaran dan akses pendidikan yang tidak merata menjadi masalah yang perlu segera diatasi.

5. Konsumen, Bukan Produsen 
Indonesia masih terlalu fokus pada konsumsi, baik dari produk dalam negeri maupun impor. Pada tahun 2023, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai $3,8 miliar, menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada impor. Pemerintah pun sepertinya cukup puas dengan ekonomi Indonesia yang digerakkan oleh perilaku konsumtif dan terus mendorong masyarakat untuk mengonsumsi tanpa dorongan yang imbang di sisi produksi. Situasi ini sejalan dengan perilaku hedonisme yang terus meluas di kalangan masyarakat.

6. Literasi Rendah 
Data UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara dalam urusan literasi, hanya 0,001% orang dewasa di Indonesia yang rajin membaca. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Literasi yang rendah ini berdampak pada rendahnya kualitas SDM dan daya saing di tingkat global.

7. Overaktif Bermedsos 
Ironi dari literasi, Indonesia justru ada di urutan ke-4 pengguna smartphone setelah Cina, India, dan AS. Menurut laporan Hootsuite dan We Are Social, masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 9 jam 4 menit sehari untuk menatap layar gadget mereka, dengan 3 jam 14 menit di antaranya dihabiskan di media sosial. Jakarta dikenal sebagai kota paling cerewet di Twitter dengan sekitar 10 juta tweet per hari. Sayangnya, aktivitas media sosial di Indonesia seringkali digunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan konten yang tidak mendidik. Bayangkan jika produktivitas semacam itu dikonversi ke sektor lain yang bernilai ekonomi. Survei dari Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) tahun 2019 menunjukkan bahwa 87,5% responden mengaku pernah menerima berita hoaks, dan lebih dari separuhnya menyebarkan informasi tersebut tanpa verifikasi. Ini menunjukkan rendahnya literasi digital di Indonesia, di mana masyarakat lebih cepat mempercayai dan menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Dengan demikian, medsos yang tadinya bisa menjadi "tools" tambahan dalam mencapai produktivitas, justru menjadi kontraproduktif.

Ketertinggalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga memainkan peran penting. Kebiasaan menyalahkan pihak lain tanpa introspeksi diri hanya akan menambah ketertinggalan. Untuk itu, momen 79 tahun kemerdekaan ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi seluruh elemen bangsa.

Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masalah sekaligus bagian dari solusi. Meski 10 tahun terakhir slogan "Revolusi Mental" terus bergaung, nyatanya belum ada perubahan mentalitas yang signifikan. Bahkan mentalitas bangsa secara akumulatif memburuk. Kesadaran untuk berkontribusi aktif (dan bukan hanya sekadar menuntut) penting untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan disegani di kancah internasional.

Kita semua menyadari Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Tetapi tanpa perbaikan yang nyata, Indonesia tak akan bisa mengejar ketertinggalannya dan berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Karena sejatinya tantangan tidak pernah berkurang.

Semoga negara kita tercinta bisa mencapai kemerdekaan yang hakiki. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan, KKN (korupsi kolusi nepotisme), ketamakan akan kekuasaan, kelicikan untuk kepentingan golongan, serta merdeka dari berbagai upaya-upaya memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. MERDEKA!

Jakarta, 17 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun