Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda
Teuku Parvinanda Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan aneh nan menyimpang yang menyengsarakan rakyat

Nulis aja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Beda Nasib Indonesia

17 Agustus 2024   18:08 Diperbarui: 21 Agustus 2024   18:23 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

6. Literasi Rendah 
Data UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara dalam urusan literasi, hanya 0,001% orang dewasa di Indonesia yang rajin membaca. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Literasi yang rendah ini berdampak pada rendahnya kualitas SDM dan daya saing di tingkat global.

7. Overaktif Bermedsos 
Ironi dari literasi, Indonesia justru ada di urutan ke-4 pengguna smartphone setelah Cina, India, dan AS. Menurut laporan Hootsuite dan We Are Social, masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 9 jam 4 menit sehari untuk menatap layar gadget mereka, dengan 3 jam 14 menit di antaranya dihabiskan di media sosial. Jakarta dikenal sebagai kota paling cerewet di Twitter dengan sekitar 10 juta tweet per hari. Sayangnya, aktivitas media sosial di Indonesia seringkali digunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan konten yang tidak mendidik. Bayangkan jika produktivitas semacam itu dikonversi ke sektor lain yang bernilai ekonomi. Survei dari Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) tahun 2019 menunjukkan bahwa 87,5% responden mengaku pernah menerima berita hoaks, dan lebih dari separuhnya menyebarkan informasi tersebut tanpa verifikasi. Ini menunjukkan rendahnya literasi digital di Indonesia, di mana masyarakat lebih cepat mempercayai dan menyebarkan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Dengan demikian, medsos yang tadinya bisa menjadi "tools" tambahan dalam mencapai produktivitas, justru menjadi kontraproduktif.

Ketertinggalan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga memainkan peran penting. Kebiasaan menyalahkan pihak lain tanpa introspeksi diri hanya akan menambah ketertinggalan. Untuk itu, momen 79 tahun kemerdekaan ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi seluruh elemen bangsa.

Masyarakat perlu menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masalah sekaligus bagian dari solusi. Meski 10 tahun terakhir slogan "Revolusi Mental" terus bergaung, nyatanya belum ada perubahan mentalitas yang signifikan. Bahkan mentalitas bangsa secara akumulatif memburuk. Kesadaran untuk berkontribusi aktif (dan bukan hanya sekadar menuntut) penting untuk membangun Indonesia yang lebih maju dan disegani di kancah internasional.

Kita semua menyadari Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Tetapi tanpa perbaikan yang nyata, Indonesia tak akan bisa mengejar ketertinggalannya dan berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Karena sejatinya tantangan tidak pernah berkurang.

Semoga negara kita tercinta bisa mencapai kemerdekaan yang hakiki. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan, KKN (korupsi kolusi nepotisme), ketamakan akan kekuasaan, kelicikan untuk kepentingan golongan, serta merdeka dari berbagai upaya-upaya memecah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. MERDEKA!

Jakarta, 17 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun