Mohon tunggu...
Teuku Azhar Ibrahim
Teuku Azhar Ibrahim Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Program Manager FDP

Lahir di Sigli Aceh, Menyelesaikan study bidang Filsafat di Univ. Al Azhar Cairo. Sempat Menetap Di Melbourne dan berkunjung ke beberapa negara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Tukang dalam Menentukan Calon Legislatif

5 Maret 2024   07:28 Diperbarui: 5 Maret 2024   07:28 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Pada negara demokrasi dikenal pepatah "Vox Populi -- Vox Dei", artinya suara rakyat adalah suara Tuhan, karena suara rakyat akan menentukan masa depan bangsa. Suara rakyat akan menentukan siapa wakil-wakil rakyat yang akan mewakili kepentingan mereka di parlemen maupun pada saat menentukan siapa yang akan duduk pada tampuk pimpinan pemerintahan untuk kurun waktu tertentu. Adagium  atau pepatah tersebut berlaku pada negara demokrasi denga n masyarakat berpendidikan tinggi serta memiliki pendapatan perkapita yang masuk kategori kelas menengah ke atas.

Pada negara demokrasi berpendidikan rendah dan berpendapatan terbatas, suara rakyat seringkali dimanipulasi oleh para elit politik maupun elit pemerintahan. Rakyat dengan mudah dimanipulasi untuk memilih tokoh-tokoh yang berparas tampan, atau tokoh selebriti karena sering muncul di televisi. Rakyat dengan kondisi semacam itu akan mudah digiring dengan isyu-isyu bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), sehingga tidak mampu menggunakan suaranya secara obyektif. Pada sisi lain, partai politik umumnya belum menjalankan pendidikan politik secara masif dan berkelanjutan agar rakyat menjadi "paham politik". Karena demikian berharganya suara rakyat dalam sistem demokrasi, untuk kasus Indonesia, hampir tidak ada Lembaga yang menjalankan fungsi tersebut, bahkan periode kekuasaan Jokowi Lembaga Pendidikan tinggi yang identik dengan gerbong untuk menjadi guru politik bagi masyarakat awam terkesan diam dan terbelunggu, kecuali hari-hari terakhir ada suara para rektor untuk mengkritisi perjalan kekuasaan rezim Jokowi.

Perilaku Pemilih Teori dan Praktek

Menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat, dilihat dari kuantitas rakyat yang menggunakan hak suaranya, belum pada kualitas demokrasinya. Oleh karena itu berbagai tulisan tentang demokrasi Indonesia yang ditulis oleh ahli-ahli dari Indonesia perlu didukung penerbitannya. Sudah saatnya negara Indonesia memberi kontribusi pemikiran untuk kepentingan dunia, bukan hanya sebagai konsumen saja. Banyak best practice maupun bad practice demokrasi di Indonesia  yang dapat dijadikan contoh bagi negara lain. Penggunaan sistem "one man- one vote" dalam demokrasi di Indonesia menggantikan sistem musyawarah dan mufakat telah menimbulkan dampak negatif  berupa terjadinya politik uang (money politics). Rakyat yang berpendidikan rendah dan berpendapatan terbatas diberi iming-iming uang, bahan makanan dan sejenisnya agar mau menggadaikan kedaulatannya kepada mereka yang memiliki uang.

Apabila praktek semacam ini dibiarkan, maka demokrasi di Indonesia akan bermutasi menjadi plutokrasi, yakni pemerintahan oleh orangorang berharta, karena yang dapat mencalonkan jadi pemimpin nasional maupun daerah hanyalah orang-orang kaya atau orang yang didukung oleh orang-orang kaya. Tidaklah berlebihan apabila Huffington menyebutkan bahwa sistem "one man-one vote" telah berubah menjadi "one dollar-one vote."

Ada kaitan yang erat antara politik uang dengan perilaku wakil-wakil rakyat di parlemen dan pemimpin pemerintahan. Mereka yang duduk dengan menggunakan uang mengalami defisit moral dalam menjalankan tugas sucinya sebagai wakil rakyat. Tidaklah berlebihan apabila Tullock, Seldon, and Brady (2013) dalam bukunya "Government Failure" mengkritik sistem demokrasi dengan membuat formula baru yakni : "  It is government " of the Busy ( political activists), by the Bossy (government managers), for the Bully (lobbying activists). Formula baru ini menggantikan formula Abraham Lincoln dengan pandangan "The Gettysburg Formula" yang menyebutkan bahwa demokrasi adalah : "Government of the people, by the people, for the people". Fakta pemilih Indonesia mendorong civitas akademis untuk menelaah setiap perkembangan  perilaku pemilih di Indonesia untuk menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia yang masih muda dan rapuh.  

Perilaku Pemilih Teori dan Praktek 

pada era demokrasi saat ini, terlebih lagi setelah revolusi informatika dan telekomunikasi yang melanda dunia kemudian menciptakan cyberdemocracy, yakni demokrasi yang berbasis pada IT. Cyberdemocracy itu sendiri akan mendorong munculnya cyber-decentralization yang bertumpu pada kekuatan warga negara (citizen).  Penyampaian aspirasi ataupun petisi yang selama ini disalurkan melalui para wakil-wakilnya yang ada di parlemen, secara bertahap akan disalurkan melalui petisi online, seperti change.org dan lain sebagainya.

Perubahan perilaku pemilih perlu dicermati secara sungguh-sungguh oleh partai politik maupun calon pemimpin yang akan tampil melalui jalur independen. Fenomena Anies yang akan maju dalam pertarungan kursi nomor 1 di Indonesia yang bukan kader partai  yang kemudian dipinang oleh NASDEM,  kemudian didukung PKS dan menyusul partai-partai lain termasuk PKB berbasis NU. Anies gabung Muhaimin dengan singkatan Amien terus menguat dengan menampilkan profil Anies lewat medsos. Awalnya sulit sekali mendapat ruang di televisi mainstream yang cendrung fokus menyuarakan suara penguasa dan juru bayar raksasa yang berada dalam kualisi kekuasaan.

Fakta membuktikan medsos mampu menyaingi peran media-media audio visual yang telah eksis sejak lama. Kemudian disebut dengan demokrasi dunia siber yang lebih bebas dari ikatan organisasi formal.  Seperti dikemukakan oleh Kakabadse dkk sebagai editor buku "Citizenship -- A Reality Far From Ideal" (2009),  yang mengatakan konsep kewarganegaraan, bergerak dari "political citizenship" yang dikembangkan jaman Aristoteles pada era empat abad sebelum Masehi   menuju era "virtual citizenship" yang berbasis pada internet.

Mengenali Perilaku pemilih Studi tentang perilaku pemilih pada dasarnya masih merupakan persoalan baru dalam konteks politik di Indonesia. Di Amerika Serikat sendiri, kajian tentang perilaku pemilih dalam bidang ilmu politik baru muncul tahun 1937 yang ditandai dengan terbitnya buku "Political Behavior: Studies in Election Statistics" karya Herbert Tingsten. Sebab, sebelumnya banyak ilmuwan politik di Amerika yang memfokuskan dan lebih puas dengan metode penelitian ilmu politik tradisional, seperti analisis tekstual filsafat politik, proses pembuatan kebijakan legislatif, deskripsi-deskripsi tentang lembaga-lembaga politik, dan semacamnya. Oleh karenanya, dalam konteks ini, munculnya penelitian-penelitian tentang perilaku pemilih dalam kajian ilmu politik merupakan reaksi atau pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap penelitian-penelitian tradisional tersebut. Kajian sebelumnya dapat digunakan sebagai sumber informasi dan juga sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian Hernoe [1994] dan suwondo [1997] tentang perilaku pemilih perkotaan memperkuat kesimpulan Gaffar [1992] yaitu orientasi sosio religius mempunyai korelasinya terhadap perilaku pemilih partai dengan latarbelakang ideologis. Santri cenderung memilih partai Islam dan kaum abangan memilih partai yang tidak membela dan memajukan Islam.

Walaupun pada saat itu semua kekuatan organisasi politik telah sepakat untuk berazaskan Pancasila, dan melepaskan diri dari cita-cita ideologis. Partai- Partai yang punya latar Islam memutar haluan kepada kepentingan kekuasaan dari pada mempertahankan ideologisnya, barangkali hanya PKS yang masih bertahan pada prinsip ideoligis Keislaman.  Dalam beberapa hasil penelitian menunjukan adanya variasi pilihan diantara masing-masing agama. Responden yang Islam cenderung memilih Partai Persatuan Pembangunan ketimbang memilih Golongan Karya [Golkar] dan Partai Demokrasi Indonesia. Sementara responden non Islam tak satupun memilih Partai Persatuan Pembangunan, tetapi lebih dominant memilih Partai Demokrasi Indonesia dan sebagian  memilih Golkar.

Hal ini menunjukan pola aliran keagamaan masih cukup berpengaruh pada seseorang dalam menentukan pilihannya. Kajian ini lebih mengarah pada pendekatan sosiologis. Penelitian Pomper pada pemilu 1946, 1964, dan 1972,  menghasilkan kesimpulan yang mirip dengan catatan Kanvanagh tentang perilaku pemilih di Inggris. Pertama, hubungan antara perubahan sosial-ekonomi dengan pilihan pemilih semakin melemah dari pemilu ke pemilu, dan sampai tingkat yang rendah pada tahun 1972. faktor-faktor demografis ketika dihubungkan dengan pilihan pemilih juga mengalami hal yang sama. Kedua, posisi isu-isu politik dalam menentukan perilaku politik meningkat secara tajam, baik dampaknya secara langsung terhadap pilihan pemilih maupun secara tidak langsung melalui penilaian calon kandidat. Ketiga, terjadi penurunan pengaruh identifikasi partai terhadap pilihan pemilih secara terus menerus mulai dari pemilu 1956, 1964, dan puncaknya pemilu 1972.

Dalam studi tentang perilaku pemilih pada pemilu 1999, Liddle dan Mujani,[1] menemukan dua kesimpulan penting dalam memahami perilaku pemilih yaitu semakin memudarnya politik aliran di tingkat massa pemilih. Massa pemilih cenderung kurang memperdulikan aliran masing-masing partai politik.  Beberapa kajian tingkah laku memilih lain yang penting diketahui antaranya dilakukan oleh Gazali Mayudin (1993). Kajian yang dilakukan Mayudin ini mau menguji pengaruh uang, media dan jentera partai terhadap tingkah laku memilih di Kelantan. Dalam kajian ini, Gazali Mayudin mendapatkan bahwa pemilih Melayu Kelantan lebih tertarik pada PAS oleh karena isu rohani dan keagamaan dan kenegerian, berbanding terpengaruh oleh uang, media, jentera partai Umno BN. Studi yang sama juga dilakukan oleh Willy Wirman (2007) tentang politik pemilih pada Pemilu 2004 terhadap partai Amanat Nasional menghasilkan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan lebih didasarkan pada faktor keagamaan, sedangkan hubungan orientasi calon anggota DPRD lebih kepada kharisma dan asal kesukuan atau daerah calon legislatif. 

Kajian ini berbeda dengan apa yang pernah dikaji di Malaysia. Kajian tingkah laku pemilih di Negara Malaysia yang pernah dilakukan antaranya yaitu kajian yang dibuat oleh Mohd Faisal Syam Abdol Hazis, Neilson Ilan Mersat dan Ahli Sarok.  Kajian ini bertajuk Tingkah laku Pemilihan Dalam Pemilu DPRD Sarawak (2002), [1] mendapati bahwa perilaku memilih di Sarawak tidaklah static, sebab perilaku memilih masyarakat dipengaruhi oleh faktor calon dan partai. Faktor inilah yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi pemilih. Kajian lain tentang perilaku memilih yang pernah dilakukan disemenanjung adalah kajian oleh Nor Azimah (1992) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku pilih di Kota Tinggi Melaka. Beliau secara khas ingin menguji pengaruh ibu-bapa terhadap tingkah laku memilih anak-anaknya.  Kajian ini menemukan bahwa tidak ada pengaruh ibu bapa dalam memilih. Baginya tingkah laku memilih lebih dipengaruhi oleh faktor lain. Selain kajian yang dilakukan Nor Azimah di Kota Tinggi Melaka, Dodi Hendrik juga pernah dilakukan di Kota Bharu negeri Kelantan, yang bertajuk perilaku Pemilih Belia perilaku memilih pada Pemilu Tahun 2004.[2]hasil didapati,  tidak terdapat hubung kait antara jenis jentina belia dengan pola memilih belia. Kajian ini juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubung kait antara tingkat umur belia dengan pola memilih belia. Sebagaimana kajian yang pernah dilakukan di Sabah oleh Neilson Mersat (1999)6 menyimpulkan bahwa faktor etnik yang mempengaruhi perilaku memilih di Sabah. Dimana pemilih bumi putra Islam lebih cenderung memilih Umno-BN. Sedangkan kaum Cina lebih cenderung memilih LDP dan SAPP.

 

Dalam era demokratisasi sekarang ini, hubungan antara kandidat dengan pemilih adalah hubungan yang tidak stabil, karena semakin kritisnya masyarakat dan semakin lunturnya ikatan tradisional maupun primordonal. Padahal, kandidat tak akan bisa memenangkan persaingan politik tanpa mendapatkan dukungan pemilih. Sehingga tidak mengherankan apabila menjelang pemilu, kandidat ramai-ramai mendekati pemilih untuk memberikan pilihannya. Hubungan pasif seperti ini,  telah diungkapkan, membuat pemilih menjadi objek politik. Padahal keberadaan pemilih seharusnya dijadikan subjek dan kandidat sebaiknya menempatkan diri sebagai pelayan serta agen pembaruan dalam masyarakat. Pada kenyataannya, hubungan antara kandidat dengan pemilih selalu beda dengan apa yang diharapkan pemilih setelah memenangkan pemilu.

 

kandidat  melupakan janji dan harapan politik yang telah mereka sampaikan di hadapan para pemilih. Mereka begitu sibuk mengurusi  kekuasaan untuk mengamankan posisi yang telah didapat. Sementara itu, di sisi lain para pemilih juga seringkali memindah-mindahkan dukungan mereka dari satu partai ke partai lain. Dengan semakin meningkatnya massa mengambang dan non-partaisan, harus disadari bahwa ikatan ideologi yang dulu sangat kuat itu sekarang telah luntur. Pemilih semakin hari menjadi sangat kritis dan selalu mengevaluasi apa saja yang telah dilakukan partai pemenang pemilu. Ketika mereka melihat bahwa program kerja yang dilaksanakan partai atau kandidat pemenang pemilu ternyata tidak sesuai dengan janji mereka sewaktu masa kampanye, pemilih dapat 'menghukum' partai atau kandidat dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya.

 

Lebih jauh dikatakan Kristiadi dalam sejarah ilmu politik belum pernah dikemukan grand theory mengenai perilaku pemilih. Menurutnya, ada tiga macam teori perilaku memilih yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga mazhab besar. Pertama, teori perilaku memilih dari mazhab sosiologis. Teori ini menggunakan pendekatan sosiologis yang deterministic; Kedua, teori perilaku memilih dari mazhab psikologis, pendekatan teori ini menekankan bahwa voting ditentukan oleh tiga aspek yaitu keterkaitan, seseorang kepada partai politik tertentu, orientasi seseorang kepada presiden atau anggota parlemen serta orientasinya terhadap isu-isu politik. Identifikasi kepartaian adalah inti dari pendekatan psikologi untuk menjelaskan perilaku seseorang memberikan suara dalam pemilihan umum.  ketiga, merupakan teori penolakan terhadap kedua teori tersebut diatas, teori ini menggunakan pendekatan ekonomi atau rasional yang menekankan bahwa pemberian suara atau voting ditentukan berdasarkan perhitungan untung rugi.

 

Menurut pandangan psikologi sosial terutama pendekatan psikologi kognitif perilaku memilih atau voting bahvior dapat dijelaskan dengan theory of choice dari Stoner, theori attitude and behavioral intention dari Fishbein[3]. Dalam theory of choice seseorang bebas memilih, namun tidak mampu mengendalikan hasil dari pilihan tersebut, decision control termasuk pula perasaan "mempunyai pilihan". Dalam teori ini ada dua istilah yang harus dibedakan yaitu antara decision control dengan outcome control. Decision control menunjukan pada proses memiliki suatu tindakan memilih berbagai pilihan yang ada, sedangkan outcome control menunjukan pada kemampuan untuk mengontrol hasil dari pilihan tersebut. 

 

Perilaku merupakan niat yang sudah direalisasikan ke dalam bentuk tingkah laku yang tampak. Fishbein dan Azjen [4] menjelaskan ada empat aspek yang mendasari seseorang melakukan tindakan beralasan. Pertama, Behavioural belief, aspek ini berkaitan dengan pengetahuan bahwa perilaku membawa konsekuensi utama. Asumsi rasional jika pilihan didasarkan pada program calon Kepala Daerah, kredibilitas anggota, kemampuan para calon Kepala Daerah serta visi dan misi partai, sedangkan asumsi irasional jika pilihan didasarkan pada kharisma tokoh, kedekatan, serta adanya persamaan daerah, profesi, serta yang lainnya. Kedua, Outcome Evaluation, aspek ini berkaitan dengan  evaluasi terhadap keyakinan atau pengetahuan utama. Dari berbagai pengatahuan yang ada, maka diadakan evaluasi. 

 

Kedua aspek diataslah yang nantinya akan membentuk sikap. Sikap positif muncul karena pengetahuan dan evaluasi dari pengatahuan tersebut positif. Begitu pula dengan pilihan rasional, sikap rasional dalam memilih calon Kepala Daerah muncul jika pengetahuan dan evaluasi terhadap asumsi pilihan rasional banyak dan tinggi. Ketiga, normative belief atau signifikan other, aspek ini berkaitan dengan pandangan orang-orang terdekat yang mempengaruhi perilaku. Orang terdekat yang biasa memberikan pandangan adalah ayah, ibu, mertua, guru, kepala desa, alim ulama, dan siapa saja yang perpengaruh terhadap individu.

 

Keempat, motivation to comply, aspek ini berkaitan dengan motivasi untuk patuh terhadap pendapat dan pandangan orang berpengaruh. Dalam asumsi pilihan rasional calon Kepala Daerah. Artinya, pilihan yang ditujukan kepada calon Kepala Daerah tertentu bukan karena patuh pada orang-orang yang berpengaruh. Dari berbagai pengertian diatas ada beberapa catatan yang dapat diambil, rasionalitastas berkaitan dengan proses kognitif atau aktivitas intelektual, di mana dalam aktivitas atau proses tersebut terdapat pertimbangan-pertimbangan atau alasan-alasan, dan bukan berdasarkan karena kecocokan dengan adat atau lingkungan.

 

Sumber daya yang dapat dikalkulsi dalam lingkup politik sebahagian diantaranya adalah imbal akses sosial-politik, ekonomi dan jabatan. Social identity theory memandang keputusan memilih adalah hasil dari proses identifikasi individu dengan satu kelompok. Identifikasi ini dapat terjadi jika individu menentukan dan mengidentifikasikan kesamaan dirinya dengan calon kepala daerah pada beberapa dimensi diantaranya berdasarkan kesamaan norma, ideologi, kepentingan, kesamaan etnis, atau suku bangsa. Perilaku memilih dalam Pilkada sebagai satu proses psikologi sosial yang merupakan proses persepsi pemilih pada  Perilaku Pemilih Teori dan Praktek  calon pemimpin yang dianggap paling sesuai menjadi kepala daerah.[5] Persepsi pemilih dalam hal ini adalah persepsi tentang layak tidaknya calon kepala daerah menjadi seorang pemimpin yang pantas untuk dipilih. 

 

Hal yang sama terjadi pada konsep identitas sosial untuk menggambarkan bagaimana individu merumuskan dirinya dalam kontek hubungan dalam satu kelompok [intergroup], yaitu bagaimana satu sistem kategorisasi sosial menciptakan dan mendefenisikan kedudukan individu dalam masyarakat. Individu dalam teori identitas sosial digambarkan menyesuaikan sikap, kecenderungan, perasaan, dan tingkahlakunya dengan sikap, kecenderungan, perasaan, dan tingkah laku yang hidup dalam kelompok.

 

Tipologi perilaku pemilih analisis mendalam dan lebih komprehensif sangat dibutuhkan untuk memahami perilaku pemilih. Sebelumnya kita telah membahas jenis-jenis pemilih berdasarkan analisis mereka terhadap partai politik atau kandidat. Sementara itu pada kenyataannya pemilih adalah dimensi yang sangat kompleks. Begitu banyaknya karekteristik dan dimensi yang harus dianalisis membuat analisis karakteristik pemilihnya menjadi terbatas jika hanya didasarkan pada pendukung atau masa mengambang.

 

Para pendukung maupun-non pendukung sebenarnya sama-sama memiliki karakteristik sebagai pemilih yang rasional dan non-rasional. Dua dimensi ini akan selalu ditemukan dalam masing-masing individu pemilih. Hanya saja kadar dan derajatnya satu sama lain memang berbeda. kedua dimensi ini diharapkan akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang cara pemilih menentukan pilihannya. Selain itu, tipologi ini amat menentukan cara suatu partai politik dan kandidat dalam mengembangkan hubungan dengan masing-masing konfiguransi yang muncul.

 

Bahwa dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu ; (1) orientasi 'policy-problem-solving,' dan (2) orientasi 'ideology'.  Ketika pemilih menilai partai politik atau seorang kandidat dari kecamata 'policy-problem-solving,' yang terpenting bagi mereka adalah sejumlah mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung secara objektif memilih partai politik  atau kandidat yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dan kejelasan program kerja. Partai politik atau kandidat yang arah kebijakannya tidak jelas akan cendrung tidak dipilih. Sementara pemilihan yang lebih mementingkan ikatan 'ideology' suatu partai atau seorang kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektivitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi, dan psikografis.

 

Semakin dekat kesamaan partai politik atau calon kandidat, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke partai dan kandidaat tersebut. Selain itu, ada baiknya memahami mengapa seorang pemilih sampai dapat membuat analisis dan judgement atas partai atau kandidat yang akan mereka pilih. Dalam hal ini, karena adanya faktor-faktor yang dapat memengaruhi keputusan pemilih atas partai mana yang akan dipilih.

 

Individu yang tidak memiliki tingkat pendidikan tinggi akan cenderung menggunakan aspek non-rasional dalam pengambilan keputusan. Faktor-faktor emosional, rumor, isu, stereotipe, dan pendapat umum merupakan hal penting dalam proses pengambilan keputusan politik mereka. Sementara itu, orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi akan cenderung lebih berhati-hati dalam proses pengambilan keputusan. Kebenaran informasi yang diperoleh tidak begitu saja diterima.

 

Para Tukang Pemilih  Non-Rasional dan Kontra Sosioligis-Phisikologis                                                     

 

Tukang secara umum adalah golongan ekonomi lemah, walau punya standar upah harian bila dikalkusi bulanan juga memenuhu standar UMR, tapi persoalannya para tukang tidak memiliki kontrak yang berkelanjutan membuat tingkat ekonomi mereka sulit untuk beranjak dari bawak ke menengah.  Sehingga para tukang secara umum tidak mempu merasiokan pola hidup mereka, perjalan hidup sama sekali tidak bisa diprediksi, berjalan begitu saja tampa bisa dipeta, dan dikalkulasi.

 

Maka para tukang akan memfaatkan peluang sebaik mungkin saat mendapat peluang untuk menambah pemasukan. Kalau pun mereka tidak bisa menghitungkan kehidupan yang abtrak tapi dalam menghitung benda bersifat fisik sangat akurat, termasuk mengkalkulasi pemasukan saat para calon legislative menggunakan politik kotor uang untuk mengdapatkan suara. Adapun jaringan informasi untuk menghubungkan tukang dengan para caleg dibangun bersama dari kedua arah. Timses menelusuri Kawasan kongkow tukang biasa menjadi sentral sirkulasi informasi tukang. Dari sisi tukang pun ada agen relawan yang menyebarkan pusat-pusat informasi sumber keuangan dari pergulatan politik kekuasaan.  Bagi tukang, suara punya nilai finansial setiap periode pencalonan dan pesta demokrasi. Tukang melihat pesta demokrasi sebagai sebuah pesta  ril untuk mendapatkan uang ektra tanpa kerja. Teori kutipan Kristiadi  pemilih Sosiologis -- phisokologis tidak banyak membantu memahami logika tukang. Bagi tukang suara adalah bargaining dengan sejumlah angka dan dan mereka terus menego hingga sampai pada angka tertinggi.

 

Analisa in berdasarkan diskusi ringan dengan tukang interior yang  bekerja pada Kuta Niaga Interior dan dalam Komunikasi tersebut, tukang memberi referensi panjang tentang para tukang di bidang berbeda seperti tukang bangunan dan para pekerja serabutan lain yang berdekatan dengan tukang, seperti supir pick up dan truck pasir. Walau tidak semua tukang tapi rata-rata tukang punya jaringan khusus dalam mengakses informasi  dari caleg yang punya kebiasaan menggunakan jasa tukang untuk mengumpulkan suara, dam hampir semua caleg senior punya Komunikasi khusus dengan tukang lewat agen-agen yang bekerja untuk caleg.

 

Proses Nego Rahasia Untuk Menentukan Angka

Untuk para tukang pendekatan telah ditentukan jauh hari sebelum hari H, dengan menghubungi agen-agen yang telah dikenal dan memperkenalkan diri. Biasanya dimulai dengan angka rendah, misalnya pada angkat seratus ribu rupiah per suara, atau sekedar uang kopi. Dengan berjalan waktu angka terus akan meninggkat sesuai negosiasi tingkat kepastian transaksi suara.  Menariknya itu tidak hanya berjalan di satu jalur, agen membuka jalur seluas-luasnya.

Agen membuat kesepakatan dengan tukang tambah komusi agen, misalnya pada caleg A; 100.000.  Caleg B ; 200.000. Caleg C; 300.000.  Caleg D; 400.000 Caleg E; 500.000.  Dana tersebut terus disalurkan sesuai kesepakatan. Adakalanya berjalan mulus, ada juga lost and found. Misalnya  hanya Caleg A, D yang berhasil tapi caleg lain tidak merespon, artinya setiap tukang akan mendapatkan  500.000 putaran pertama potong bea agen. Ketika mendekati hari H caleg ingin memastikan suara akan dia dapatkan dari tukang yang sudah menerima imbalan. Maka tukang dan agen akan meningkatkan bargaining denga caleg pada angka lebih tinggi. Misalnya  Caleg A; 100.000 maka tukang akan mengatakan bahwa ia mendapat 500.000 dari caleg E. Kalau caleg ingin mendapatkan suara di bargaining terakhir itu maka harus berani menawarkan angka di atas 500.000.  dan pada kesepakatan terakhir tukang akan mencoblos angka paling tinggi walau sebelumnya sudah pernah menerima tawaran-tawaran lain di bawah angka bargaining terakhir.

Menurut pengakuan tukang, ia bisa mendapatkan antara 1.5 juta rupiah hingga 2 juta setiap pesta demokrasi, dan itu benar-benar sebuah pesta. Fenomena ini baru dari sisi tukang bangunan, bagainama dengan  kelompok kerja lain tentu punya jaringan tersendiri. Maka seorang caleg untuk bisa mendapatkan kursi tidak cukup lagi dengan sekedar sembako di menjelang hari H. tapi perlu pundi-pundi tebal dan berisi penuh. Fakta menunjukan Plutokrasi sedang berjalan di Indonesia, dan itu nampak bagaimana para birokrat dan dan politisi menjalankan roda pemerintah dan mengendalikan ideolog kebangsaan. Selama dapat mendatangkan keuntungan personal semua akan dilakukan, walau negara dan bangsa sudah terjerat dalam kekuatan asing yang sudah menanam modal di pada masa pemilihan umum terutama di level atas, penampakan demokrasi dalam bayang-bayang dinasti adalah sebuah perjalanan panjang, perangkat hokum menjadi alat kekuasaan.

Penutup

Hancur sebuah bangsa melewati sebuah proses dan kerjasama rakyat dan penguasa untuk menghancurkan  bangsa lewat proses politik kotor yang sama-sama fokus pada kepentingan pribadi. Dan hal ini sulit dihentikan bila guru bangsa yaitu para intelektual dan tokoh agama terlibat dalam konspirasi plutokrasi.  Berharap pada tahun pesta demokrasi 2024 ada kesadaran bangsa untuk bersama menciptakan perubahan untuk menyelamatkan bangsa. Setiap orang punya kesadaran kebangsaan, dan tokoh intelektual dan agama melibatkan diri untuk mencerahkan bangsa dari segala kalangan sesuai kemampuan Komunikasi politiknya pada partisipan demokrasi. Peran tukang dalam irasional voter adalah sebuah fenomena gunung dalam perjalanan demokrasi Indonesia, persoalan serupa terjadi banyak juga di luar dunia tukang, saatnya untuk berhenti dan menghentikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun