Pertanyaannya, jika akhirnya Stasiun Karet jadi ditutup (infonya sih Februari 2025), tidak ada angkutan umum yang melintasi Stasiun BNI City selain naik ojek atau jalan kaki. Kalau naik ojek berapa lagi ongkos yang harus dikeluarkan? Kalau jalan kaki seberapa jauh dan seberapa lama?
Kalau jalan kaki ke Hotel Shangri-la atau ke Menara BNI sih tidak masalah. Bagaimana dengan mereka yang bekerja di sekitar Stasiun Karet? Apa harus berjalan kaki juga?
Kegalauan-kegalauan seperti inilah yang membuat masyarakat menolak penutupan Stasiun Karet. Salah satunya, ya kawan saya, Dewi Syafrianis, yang kebetulan saat itu menghadiri agenda yang sama dengan saya. Kebetulan tinggal di kompleks yang sama. Kebetulan juga sama-sama pengguna setia KRL.
Meski, kami tidak setiap hari ke Stasiun Karet, tapi kawan saya ini memikirkan nasib mereka yang bekerja di kawasan sekitar Karet, seperti Thamrin City, jalan KH Mas Mansyur, Pejompongan, dan daerah-daerah sekitarnya.
Bagaimana mereka harus ke tempat kerjanya? Di saat kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, masyarakat harus mengeluarkan ongkos ekstra untuk ke tempat kerjanya. Kalau tetap berjalan kaki mau tidak mau, harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
"Tadinya bisa dengan jalan kaki, eh jadi harus naik ojek. Kan, itu namanya nyusahin masyarakat. Orang buat memenuhi kebutuhan hidup aja harus ada yang dipangkas-pangkas, eh ada lagi beban baru. Kan kasihan. Bikin sengsara orang aja," katanya "ngedumel".
Memang sih ada opsi lain untuk menghindari jalan kaki, bagi penumpang dari Jakarta Kota atau Bogor. Yaitu dengan turun di Stasiun Tebet lalu lanjut menggunakan Jak Lingko yang gratis. Namun, ia sudah bisa memastikan akan ada penumpukan penumpang di Stasiun Tebet jika Stasiun Karet ditutup. Tidak ditutup saja peminatnya banyak, apalagi jika Stasiun Karet ditutup.
Belum lagi  harus terjebak kemacetan Kasablanka, Kuningan, hingga Karet Tengsin jika memilih Jak Lingko dari Stasiun Tebet. Bisa memakan waktu lebih lama. Pilihan lainnya, ya naik motor tapi itu juga risiko yang cukup besar.
Kalau memang alasannya karena demi kenyamanan dan keselamatan penumpang, mengapa tidak direvitalisasi saja seperti stasiun-stasiun lainnya? Mengapa harus mengorbankan Stasiun Karet ditutup?