"Ke kanan," teriak pemandu yang berarti tubuh harus condong ke kanan untuk menghindari menabrak batu besar.
"Ke kiri...!" berarti tubuh harus condong ke kiri.
Beberapa perahu terbalik dan membuat penumpangnya tercebur ke arus sungai. Ternyata arusnya cukup kuat juga. Sampai ada yang terbawa arus sejauh 10 meter dan mulutnya kemasukan air. Blep blep blep blep. Hap, lalu baju pelampung terasa ditarik.
Syukur selamat. Syukur kacamata tidak terlepas. Syukur hanya memar-memar sedikit di bagian kaki. Syukur hanya mata yang perih, hati tidak. Syukur tidak banyak menelan air sungai.Â
Untungnya, bumi masih berputar
Untungnya, ku tak pilih menyerah
Untungnya, ku bisa rasa
Hal-hal baik yang datangnya belakangan
"Eh loe kebawa arus juga?" tanya saya pada kawan saya, Wawa. Eh, iya lupa saya dan dia, satu perahu karet. Kami pun tertawa lepas.
Wawa ini awalnya masih ragu-ragu untuk ikut arung jeram karena belum pernah mengikuti aktivitas itu. Namun, karena penasaran dan ingin tahu juga, akhirnya ikut juga.
Perjalanan pun dilanjutkan setelah posisi kembali berada di perahu karet. Perjalanan menyusuri sungai melewati area tenda-tenda dan menjadi pemandangan bagi wisatawan di sana. Tapi bukan berarti tanpa  rintangan. Beberapa kali perahu karet saling beradu, bertubrukan. Bukannya kaget, yang ada malah kami tertawa-tawa.
Akhirnya, arung jeram sampailah di garis finish. Trek terjal yang sepanjang 1.2 kilometer itu memakan waktu sekitar 30 menit. Baju basah semua. Tubuh sedikit menggigil kedinginan.
Lalu kami kembali ke titik semula dengan menggunakan kendaraan yang sudah dimodifikasi. Sampai di sini, kami melepaskan baju pelampung dan helm untuk dipakai oleh pengunjung berikutnya.