Â
Diberlakukannya UU NRI 1945 tahun 2002 ternyata memicu tumbuh suburnya budaya korupsi di Indonesia. Sistem politik yang menganut multi partai dan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, belum menjadi jawaban memberangus budaya korupsi.
Begitu persoalan yang mengemuka dalam FGD Tata Nilai bertema Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi, Jumat 23 Agustus 2024. FGD yang diadakan oleh Aliansi Kebangsaan, ini dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting
Hadir sebagai pembicara yaitu Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD (Menkopolhukam Periode 2019-2024), Dr. Manuel Kaisiepo (Aliansi Kebangsaan), dan Danang Widoyoko, ST., M.Si., Ph.D (Transparency Internasional Indonesia).
Diskusi dimoderatori oleh Nurrachman Oerip (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti) dan dipandu oleh Dr. Susetya Herawati (Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, yang juga akademisi Universitas Krisdwipayana)
Dalam pengantarnya, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan, pemilihan umum secara langsung menjadikan kewenangan partai sebagai satu-satunya pintu masuk warga negara yang ingin duduk dalam pemerintahan (eksekutif maupun legislatif).
Kewenangan ini yang membuat peran dan posisi partai politik menjadi sangat menentukan. Dengan sistem politik yang demikian, posisi tawar atau bargaining position partai politik menjadi sangat tinggi. Siapapun yang ingin menduduki jabatan kepala daerah, juga beberapa jabatan penting lainnya harus melakukan tawar menawar dengan partai politik.
"Di negara yang memiliki sumber daya ekonomi berlimpah seperti Indonesia, jabatan kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah merupakan daya magnit yang sangat kuat untuk diperebutkan. Sementara itu, kekuatan partai terletak pada besarnya konstituen yang dapat dirangkulnya," kata Pontjo yang juga Ketua FKPPI atau Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri.
Pontjo melanjutkan jiwa dagang para "politisi-ambisius" mendorong para politikus korup ini berani melakukan tindakan spekulatif. Menawarkan biaya mahar tinggi kepada partai agar dirinya dapat diusung memasuki ajang pemilu. Menjadi pertanyaan, dari mana uang mahar yang begitu tinggi dapat diperoleh?
"Tentu saja dari pengusaha yang berharap akan mendapat konsesi eksploitasi sumber daya alam, jika calon yang disponsorinya berhasil memenangkan pemilu. Selanjutnya ketika politisi ambisius tadi berhasil memenangkan pemilu, maka tiba saatnya, ia harus mengembalikan biaya sponsorship kepada para pengusaha tadi," ungkap Pontjo.
Rangkaian pemilihan kepala daerah yang demikian akhirnya membentuk Siklus Transaksional Triple Helix Politik -- pemerintahan (eksekutif dan legislatif), partai politik dan pengusaha. Sudah bisa ditebak, rangkaian kegiatan selanjutnya apa. Masyarakat awam sekalipun sudah bisa "membacanya".
Ya, setelah pejabat eksekutif dan legislatif mulai menjalankan pekerjaannya di lembaga pemerintahan tadi, timbullah negosiasi tawar menawar antara wakil-wakil partai di DPR berhadapan dengan wakil-wakil partai yang duduk di eksekutif.
Nantinya, akan berakhir dengan win-win solution yang ujung-ujungnya menguntungkan pengusaha-pengusaha sponsor tadi. Mereka begitu sibuknya tawar menawar bisnis tadi, hingga kepentingan rakyat warga negara justru kerapkali terabaikan.
Dan, menjadi ironis, belakangan ini mekanisme triple helix tersebut telah merembet dan melibatkan fungsi kehakiman (yudikatif). Terlihat dari terbentuknya "KPK baru" hasil UU No. 19 tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2O02 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"KPK baru" ini telah digunakan untuk menyandera kekuatan-kekuatan politik yang berseberangan dengan koalisi pemerintah. Tujuannya apa lagi kalau bukan memaksa kehendaknya untuk menguasai partai besar guna dijadikan kendaraan politiknya. Â
"Kekuatan-kekuatan politik ini ingin menundukkan pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 yang lalu, agar senantiasa mengikuti skenario yang ia kembangkan ke depan," tukas Pontjo.
Pontjo mengakui perilaku korupsi dewasa ini sudah semakin kompleks. Tidak lagi sekadar korupsi untuk menumpuk kekayaan saja, tetapi juga sudah berubah menjadi korupsi politik (kekuasaan). Membentuk budaya baru yang oleh Dahlan Iskan disebut sebagai Budaya Post-Truth. Hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi ini.
"Inilah ironi yang tengah terjadi di bangsa ini. Mungkin kita harus mengembangkan "Post Parliamentary Demokrasi" melalui media sosial, atau apa yang saya sebut sebagai "Digital Democracy" yang mengandalkan jargon "No Viral No Justice", yang belakangan ini menjadi sarana ekspresi kedaulatan rakyat," kata Pontjo.
Menurut Pontjo, perilaku korupsi dapat terjadi tidak saja karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memang memiliki "corrupted mindset", tetapi juga terjadi karena adanya "kesempatan", atau karena kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku.
Ibarat Penyakit Kanker
Pontjo mengingatkan masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam pemecahan permasalahan bangsa ini. Untuk menciptakan pembangunan peradaban satu bangsa yang berpenduduk 230 juta ini tidak dapat dilakukan hanya oleh puluhan ribu pejabat pemerintahan saja.
"Karena itu, partisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan untuk berhasil melaksanakan pembangunan nasional. Partisipasi bisa bermacam-macam. Dapat berupa saran dan rekomendasi tentang rancangan strategis, atau berupa dukungan untuk dilaksanakannya kebijakan publik tertentu, atau juga dukungan materil yang mungkin dapat diberikan oleh masyarakat," terangnya.
Ia menegaskan korupsi di kalangan pejabat pemerintahan dan pimpinan organisasi kemasyarakatan adalah bentuk kejahatan yang luar biasa, yang mampu menggerogoti kehidupan bangsa. Seperti halnya penyakit kanker yang menggerogoti dan mengancam kelangsungan hidup manusia.
Karena itu, Pontjo ingin menggugah kesadaran kolektif masyarakat Indonesia untuk bersama-sama menjaga jati diri budaya bangsa, menjaga kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, serta membangun kemandirian ekonomi bangsa Indonesia, dengan cara bergotong royong memberantas korupsi.
Prasetijono Widjojo MJ, seorang ekonom, dalam diskusi yang sama, memaparkan sebab semakin maraknya korupsi di Indonesia. Di antaranya, rendahnya komitmen berlaku jujur, kurangnya integritas dan tanggungjawab para oknum penyelenggara negara.
"Juga hilangnya rasa malu dari pelaku kejahatan korupsi. Mantan koruptor, misalnya, bisa menjadi legislator atau pimpinan BUMN. Bisa maju menjadi pimpinan lainnya. Ini jelas merupakan atribut penghancuran budaya tata nilai , tata Kelola dan tata Sejahtera kehidupan mulia dan bermartabat bangsa," tegasnya.
Menurutnya, sistem tata kelola dan mental karakter harus diperbaiki. Artinya, pencegahan dan pemberantasan korupsi harus diarahkan bagi terwujudnya masyarakat anti korupsi melalui perbaikan sistem di semua lini layanan publik, penguatan integritas masyarakat, penegakan hukum, penyelenggara negara serta penguatan sistem pencegahan.
Dalam kesempatan yang sama, Sekjen Transparansi Internasional Indonesia J. Danang Widoyoko, menegaskan, korupsi terbukti melemahkan demokrasi dan akses terhadap keadilan. Penyempitan ruang partisipasi publik karena sistem yang korup telah memperparah tercapainya kesejahteraan. Adanya korupsi juga menjadi penyebab bagi warga dalam mengakses keadilan.
Karena itu, dalam materinya, Danang mengatakan, upaya pencegahan korupsi tidak hanya fokus pada penegakan hukum. Karena integritas penegak hukum yang bermasalah justru membuat penegakan hukum bisa disalahgunakan.
"Pencegahan adalah aspek penting, sayangnya kurang menjadi perhatian. Karena itu, perlu fokus melihat mekanisme insentif untuk mendorong pencegahan yang efektif. Tidak ada strategi yang one-size-fits-all atau satu ukuran untuk semua. Perlu strategi spesifik untuk sektor tertentu," tegasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H