Rangkaian pemilihan kepala daerah yang demikian akhirnya membentuk Siklus Transaksional Triple Helix Politik -- pemerintahan (eksekutif dan legislatif), partai politik dan pengusaha. Sudah bisa ditebak, rangkaian kegiatan selanjutnya apa. Masyarakat awam sekalipun sudah bisa "membacanya".
Ya, setelah pejabat eksekutif dan legislatif mulai menjalankan pekerjaannya di lembaga pemerintahan tadi, timbullah negosiasi tawar menawar antara wakil-wakil partai di DPR berhadapan dengan wakil-wakil partai yang duduk di eksekutif.
Nantinya, akan berakhir dengan win-win solution yang ujung-ujungnya menguntungkan pengusaha-pengusaha sponsor tadi. Mereka begitu sibuknya tawar menawar bisnis tadi, hingga kepentingan rakyat warga negara justru kerapkali terabaikan.
Dan, menjadi ironis, belakangan ini mekanisme triple helix tersebut telah merembet dan melibatkan fungsi kehakiman (yudikatif). Terlihat dari terbentuknya "KPK baru" hasil UU No. 19 tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2O02 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"KPK baru" ini telah digunakan untuk menyandera kekuatan-kekuatan politik yang berseberangan dengan koalisi pemerintah. Tujuannya apa lagi kalau bukan memaksa kehendaknya untuk menguasai partai besar guna dijadikan kendaraan politiknya. Â
"Kekuatan-kekuatan politik ini ingin menundukkan pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 yang lalu, agar senantiasa mengikuti skenario yang ia kembangkan ke depan," tukas Pontjo.
Pontjo mengakui perilaku korupsi dewasa ini sudah semakin kompleks. Tidak lagi sekadar korupsi untuk menumpuk kekayaan saja, tetapi juga sudah berubah menjadi korupsi politik (kekuasaan). Membentuk budaya baru yang oleh Dahlan Iskan disebut sebagai Budaya Post-Truth. Hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi ini.
"Inilah ironi yang tengah terjadi di bangsa ini. Mungkin kita harus mengembangkan "Post Parliamentary Demokrasi" melalui media sosial, atau apa yang saya sebut sebagai "Digital Democracy" yang mengandalkan jargon "No Viral No Justice", yang belakangan ini menjadi sarana ekspresi kedaulatan rakyat," kata Pontjo.
Menurut Pontjo, perilaku korupsi dapat terjadi tidak saja karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memang memiliki "corrupted mindset", tetapi juga terjadi karena adanya "kesempatan", atau karena kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!