Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - hanya ibu rumah tangga biasa

Hobby sederhana: membaca, menulis, memasak, travelling

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Aksi Demo BEM SI Berujung Ricuh, Prof Henry: Jangan Terjebak Permainan Elit Politik

28 Juli 2024   13:15 Diperbarui: 28 Juli 2024   13:17 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Prof Henry Indraguna


Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin 22 Juli 2024. Demo yang semula damai berakhir ricuh hingga malam hari.

Demo BEM-SI serentak bertajuk "Adili 10 Tahun Dosa Kepemimpinan Jokowi", itu terjadi bentrokan yang melibatkan para demonstran dengan aparat keamanan. Massa dilaporkan membakar spanduk dan polisi menembakkan water cannon atau meriam air.

Aksi demonstrasi yang berujung ricuh ini mendapat tanggapan dari praktisi hukum Prof Dr Henry Indraguna, yang juga politisi Golkar. Ia menilai aksi BEM SI tersebut lebih mencerminkan pemaksaan kehendak. Aksi itu juga telah mengganggu ketertiban umum.

Menurutnya, model aksi demontrasi kekerasan sebaiknya tidak boleh lagi dipertunjukkan ke hadapan publik. Terlebih, ia menilai Presiden Joko Widodo yang menjadi sosok fokus aksi demonstrasi sudah sangat demokratis.

"Aksi demontrasi yang mempertunjukkan kekerasan bukan solusi terbaik untuk memecahkan persoalan bangsa dan tantangan ke depan yang lebih rumit, bahkan kompleks," ujar Prof Henry di Jakarta, Sabtu 27 Juli 2024.  

Karena itu, ia mengingatkan model aksi kekerasan seperti yang ditunjukkan BEM SI sama sekali tidak menarik. Masyarakat  justru tidak simpati dan empati. Malah cenderung tidak diatensi dan dicemooh publik.

Masyarakat menilai demonstrasi yang menunjukkan kekerasan tidak mencerminkan karakter kaum intelektual yang semestinya. Masyarakat memandang, mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki ide, gagasan, pemikiran, dan tawaran solusi bagi perbaikan keadaan bangsa.

"Kericuhan yang dibuat BEM SI semakin membuat masyarakat apatis terhadap aksi mereka. Bahkan, masyarakat yang terkena dampak residu dari aksi tersebut malah  balik mencemooh," ungkap Prof Henry.

Pengacara kondang ini juga mengingatkan para mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI tidak terjebak pada permainan elit politik. Terlebih ketika mengkritik kinerja Presiden Jokowi tanpa didasarkan pertimbangan objektivitas, melainkan lebih ke arah dekonstruktif.

"Menilai kinerja Presiden Jokowi itu jangan sepotong-sepotong harus satu kesatuan komprehensif. Dengan begitu, akan melahirkan penilaian kritis, objektif, konstruktif, dan solutif," tegasnya.

Menurut Prof Henry kinerja Presiden Jokowi sejatinya sudah diakui internasional. Terbukti dari banyaknya penghargaan bergengsi yang disematkan kepada Jokowi. Baik penghargaan bergengsi nasional maupun internasional.

"Dunia mengakui keberhasilan Jokowi memimpin Indonesia dan memberikan dampak kepada Indonesia sebagai negara yang disegani dengan bargaining yang tinggi di negara kawasan maupun global," urai Prof Henry.

Dia menilai BEM SI tengah terbawa arus permainan politik tingkat tinggi. Hal itu terlihat dalam beberapa isu yang diangkat.
Pertama, menuntut Jokowi untuk tidak cawe-cawe di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Indonesia 2024, setelah tuduhan cawe-cawe Kepala Negara tidak terbukti di Pilpres 2024.

Tuntutan kedua, BEM SI menolak segala macam bentuk upaya pembungkaman kebebasan pers. Ketiga, BEM SI menolak kembalinya Dwi Fungsi TNI Polri. Keempat, BEM SI menolak pelemahan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpotensi mengganggu independensi kekuasaan kehakiman.

Menurutnya, semua isu saat ini tengah dimainkan sekelompok orang untuk menyerang Presiden Jokowi lewat keluarganya. Karena itu, ia meminta BEM SI mengkaji kembali isu-isu tersebut. Alangkah lebih bijak lagi mengkritisi dengan cara yang elegan, smart, bermartabat dan lebih solutif.  

"Jika ada narasi Presiden Jokowi selama memimpin 279 juta penduduk Indonesia ini telah membungkam kebebasan pers, hal itu sama sekali tidak tepat. Presiden Jokowi tidak pernah sekalipun melakukan pemberedelan media massa, baik itu cetak, online, radio atau TV," ungkapnya.

Dalam pandangannya, Jokowi orang yang sangat kooperatif dengan pers. Kalau Presiden tidak mau menjawab pertanyaan wartawan bukan karena tidak kooperatif. Itu lebih kepada untuk menjaga agar informasi menjadi tidak blunder. Karena itu, Presiden hanya diam dan tidak menjawab.

"Jokowi sering dihina, di fitnah, dikambinghitamkan, tetapi tidak pernah sekalipun memerintahkan penghilangan paksa sebuah berita atau karya jurnalistik yang dilindungi konstitusi. Apalagi, sampai menutup usaha media. Itu jauh dari karakter Pak Jokowi," tegas Prof Henry.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun