Jika kurban mereka diterima, tanda yang muncul adalah api yang turun dari langit untuk menyambar kurban tersebut. Qabil, sebagai seorang petani, menyerahkan kurban berupa hasil pertanian miliknya. Namun, yang ia persembahkan hasil pertanian yang jelek-jelek. Sedangkan Habil, sebagai seorang peternak, mempersembahkan kurban berupa seekor kambing terbaik yang dimilikinya.Â
Persembahan mereka tersebut menggambarkan tingkat ketulusan dan keikhlasan. Habil lebih ikhlas karena menyerahkan kambing terbaiknya, sementara Qabil dengan tanaman terburuknya. Hal ini mengindikasikan bahwa Qabil kurang bertakwa, tidak taat kepada Allah SWT, dan tidak ikhlas.
Allah SWT menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban miliknya. Namun, kurban yang dipersembahkan Qabil tidak mendapatkan respon dariNya. Menyadari kurban Habil diterima sedangkan kurbannya ditolak, Qabil merasa iri dan tidak terima.
Dipenuhi oleh emosi dan kecemburuan, Qabil mengambil sebuah batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil hingga menyebabkan kematiannya.
Dari kisah Qabil dan Habil, kita dapat belajar pentingnya niat yang ikhlas dalam segala hal, termasuk dalam berqurban. Dari kisah ini mengajarkan kita untuk senantiasa menguji dan memperbaiki niat kita dalam beribadah.
"Ikhlas itu penting. Ikhlas harus di dua pihak. Orang yang berkurban ikhlas dan pelaksana penyembelihan kurban juga harus ikhlas. Tunggu saja bagiannya. Kalau belum waktunya, kita ambil, itu dosa jadinya," tegasnya.
Kedua, taat kepada Nabi dan Allah. Dan ini dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. Nabi yang mendambakan seorang anak selama bertahun-tahun, lalu Allah mengaruniainya seorang anak bernama Ismail. Saat lagi sayang-sayangnya pada Ismail yang beranjak remaja, lewat mimpi Allah memerintahnya untuk menyembelih anak kesayangannya itu.
Dengan berat hati Ibrahim menyampaikan apa yang ada di dalam mimpinya kepada Nabi Ismail putranya. Sebagaimana tersurat dalam Al-Quran, Surat As-saffat, ayat 102.
"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah bagaimana pendapatmu!"
Mendengar penjelasan dari ayahnya tersebut, Nabi Ismail meresponnya dengan tenang. "Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."