Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Badai di Ujung Senja

16 Mei 2023   01:35 Diperbarui: 16 Mei 2023   01:39 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com/

Aira mengerjap beberapa kali. Kelopak mata yang dipayungi lentik bulu matanya menggaris sendu. Bulir bening bergerak cepat menyusuri pipinya yang putih mulus. Dengan cepat mata itu kembali membuka dan menatap Jane sedikit membelalak.

"Maaf, Jane. Baru ketemu malah kusuguhi kisah sedih. Bodohnya aku!" Aira tersenyum di tengah derai air mata yang masih deras membasahi wajahnya yang berkabut duka.

"Tak apa Air. Kamu paling suka memendam kesedihan. Sesekali berbagi denganku 'kan gakpapa. Semoga saja bikin lega," Jane beringsut mendekati Aira.

Dipeluknya sahabat dekatnya itu dengan segenap pengertian. Tangan kanannya mengusap lembut punggung sahabatnya yang dikenal tangguh dan berhati baja.

Ya, selaku Pradana Gudep 424 semasa di pangkalan SMA Tunas Bangsa dulu, Aira dikenal selaku sosok yang disiplin, tangguh, cerdas, dan kreatif. Dia membangun Ambalan Kartini dengan sandi ambalan yang sangat keren. Kepiawaiannya dalam mengolah literasi, mengurai rasa dan logika, membuat dia mampu menggulirkan Sandi Ambalan Kartini yang luar biasa. Dia juga menyusun tata tertib ambalan yang disepakati oleh anggota, juga disetujui pembina. Pak Har dan Bu Lina, pembina mereka, berdecak kagum mengapresiasi karya Aira.

Selain dikenal sebagai bintang pelajar, Aira juga sering menulis puisi dengan diksi yang sangat berkelas. Karena itulah, sandi ambalan yang dibuat dalam bentuk puisi saat itu, benar-benar fenomenal dan menjadi acuan pangkalan lain dalam membuat sandi ambalan.

Aira juga pandai menulis artikel. Buah pikirannya terpampang mengisi berbagai media massa. Namun, untuk urusan perasaan, dia agak tertutup. Semua hal yang menimpa dirinya tak pernah dikemukakan pada siapa pun. Sikapnya tenang dan selalu menenangkan orang lain. Jika perasaannya gundah, dia hanya dia. Hanya sesekali saja kesedihan terlihat dari raut wajahnya yang sendu. Itu pun hanya dipahami oleh Jane, sahabat dekatnya.

Kini Jane menyaksikan Aira melepas tangis. Berarti temannya memang tengah diterpa badai yang sangat luar biasa. Tidak biasanya Aira melepas tangis di hadapan orang lain. Hal ini menunjukkan kalau dia memang tak mampu menahan kesedihan yang mengusik jiwanya. Tangisnya lirih namun begitu menyayat siapa pun yang mendengarnya.

"Kautahu alasan Hendro melakukan itu padamu?" tanya Jane hati-hati.

Pertanyaan itu disampaikan karena Jane tak tahan dengan rasa ingin tahunya atas perilaku Hendro yang diketahui sangat mencintai Aira. Jane tahu, bagaimana perjuangan Hendro untuk mendapatkan Aira yang cantik dan supel. Hendro bukan siapa-siapa jika dibandingkan Aira, baik dilihat dari segi materi, pergaulan, wawasan, bahkan keelokan wajah.

Hendro adalah karyawan di toko mebel milik keluarga Aira. Lelaki dengan rahang agak persegi itu menjadi tangan kanan ayahnya dalam mengelola toko mebel yang cukup besar dan populer. Cinta membuat keduanya saling mengisi dan mampu membangun mahligai rumah tangga hingga lebih dari tiga puluh tahun. Bahkan saat ini sudah lengkap dengan tiga cucu dari dua putranya.

"Dia hanya bilang kalau hidupnya monoton karena aku terlalu mandiri," jawab Aira di tengah isaknya.

"Mandiri dalam hal tertentu sih iya. Tapi 'kan kamu selalu memerlukannya kalau mau ke mana-mana," Jane setengah protes.

Meski dikenal sebagai gadis tangguh dan layak diteladani dalam banyak hal, Aira tak pernah punya keberanian untuk menyetir mobil. Dia cukup mengandalkan sopir untuk keperluan perjalanan. Setelah menikah, Hendro menjadi suami siaga dalam hal antar-jemput istrinya.

"Itulah, Jane. Dia bilang, pengen berhenti jadi sopir."

Bahu Aira kembali berguncang. Pertanda tak kuasa membendung tangis.

Betapa inginnya Jane mengumpat dan mengata-ngatai Hendro sebagai lelaki yang tak pandai bersyukur. Punya istri cantik, cerdas, dan hormat pada suami. Istri yang cemerlang dalam karier namun tetap mengutamakan keluarga dalam banyak hal.

"Mm... kautahu siapa wanita yang telah merebut perhatian Hendro?"

Jane kembali bertanya lebih jauh. Pikirannya ikut terusik. Dalam usia lima puluh tahun lebih, Aira tampak masih memancarkan aura cantik dengan karisma kuat. Secantik apakah wanita pilihan Hendro saat ini?

"Gilanya, Jane, dia berterus terang siapa sebenarnya wanita yang membuatnya merasa begitu berarti. Aku benar-benar tak habis pikir. Kok bisa-bisanya dia memilih wanita itu?"

Aira mulai menguasai perasaannya. Dia menarik napas panjang beberapa kali.

"Kamu kenal wanita itu?" Jane semakin penasaran.

"Tentu saja. Dia yang selama ini bekerja di rumahku. Mas Hendro lebih memilih Ipah dengan tiga anak yang masih kecil-kecil itu ketimbang keluarga yang telah dibangunnya hingga tiga puluh tahun lebih. Katanya, di hadapan wanita itu dia merasa jadi lelaki yang sesungguhnya. Dia merasa dibutuhkan ...,"

"Oh, iya! Jelas saja dibutuhkan buat mengurusi anak-anaknya," ujar Jane memotong curhatan Aira saking geramnya.

Setiap hari sejak itu, Jane menunggu-nunggu kabar dari Aira. Jane ingin tahu kelanjutan ceritanya. Hampir setiap hari Jane berusaha menghubungi sahabatnya. Tetapi, Aira tidak bisa dihubungi. Gawainya tidak aktif. Hingga tiga minggu berikutnya, tetiba Jane bertemu dengan Aira yang tengah sibuk menaikkan barang belanjaan pada sebuah mobil bak terbuka.

Terlihat aneka barang kebutuhan anak sekolah bertumpuk pada bak mobil yang tidak terlalu luas itu. Tas sekolah, baju seragam, buku-buku, selimut, rak piring, dan beberapa alat rumah tangga lainnya.

"Aira? Kamu belanja apa sih? Sampai penuh begini!" sapa Jane sambil geleng-geleng kepala lantaran heran melihat tumpukan barang yang memenuhi bak Chevrolet Colorado merah itu.

Aira tak menjawab pertanyaannya. Bahkan menoleh pun tidak. Pandang matanya datar dan tak bercahaya seperti biasanya.

Jane menatap Bimo yang tengah mengikuti langkah Aira. Jane semakin heran melihat tampang Bimo yang terlihat kusut. Anak sulung Aira itu membujuk ibunya agar segera masuk ke dalam mobil.

"Bimo, ada apa ini?" tanya Jane mengikuti langkah Bimo yang tergesa-gesa menuju kursi pengemudi setelah menempatkan Aira pada kursi di sampingnya.

"Maaf Tante. Mama jadi begini. Permisi, saya harus segera mengantar barang-barang ini," jawabnya pelan dengan raut muka sedih.

Meski tidak mengerti, Jane mengangguk saat Bimo melaju meninggalkan beribu tanya dalam benaknya. Tanpa membuang waktu, Jane segera mengendarai mobilnya dan mengikuti laju Chevrolet Colorado yang dikemudikan oleh Bimo.

Setelah hampir dua puluh menit, mobil yang diikuti Jane masuk dan berhenti di pelataran sebuah rumah sederhana. Jane memarkir mobilnya di pinggir jalan lalu segera turun untuk mengetahui kejadian selanjutnya. Dia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Apalagi saat mengingat Aira yang seperti tidak mengenalinya.

Seorang wanita berusia empat puluhan keluar sambil menggendong anaknya. Dia menatap mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Wanita berparas sederhana itu menampakkan raut muka bingung dan ya, Jane mengenalinya. Dialah, Ipah yang bekerja di rumah Aira. Jane pernah bertemu saat bertandang ke rumah Aira.

Aira turun dari mobil dan dengan cepat menurunkan barang-barang dibantu oleh Bimo. Gerakannya cepat namun tatapannya benar-benar hampa. Semua barang itu diletakkan di teras rumah.

Jane semakin heran karena ruang tamu dan teras rumah itu dipenuhi barang-barang keperluan sekolah serta alat dapur dan alat rumah tangga lainnya. Beberapa barang masih terbungkus rapi. Letaknya tidak beraturan. Beberapa barang banyak yang serupa dan diletakkan saling bertumpuk. Rumah itu jadi mirip grosir tempat aneka barang.

Setelah selesai, Aira duduk bersimpuh di hadapan Ipah. Dengan tangan ditangkup di dada, Aira memohon sambil meratap. Dia berkata-kata di sela tangisnya yang tetiba menguar.

"Kuberi ... semua keperluanmu, Ipah. Ambillah ... semua. Tapi tolong ... jangan ambil ... Mas Hendro. Kembalikan dia padaku...."

Ipah berdiri mematung sambil menggendong anaknya. Air matanya juga sama, mengalir deras. Entah dia menangis karena apa. Alangkah sulitnya menebak perasaan manusia.

Jane tak bisa menahan diri lagi. Air matanya tumpah ruah. Dipeluknya Aira dari belakang. Dengan lembut, dia membujuk Aira agar kembali pulang. Demikian pula Bimo. Sama-sama membujuk Aira agar segera masuk ke dalam mobil.

Saat Jane hendak meninggalkan tempat itu, terlihat dari kaca spion seorang pengendara ojol memasuki halaman rumah Ipah. Setelah memarkir motornya, lelaki itu membuka helm dan menatap tumpukan barang di teras rumah itu. Dia menjambak rambutnya sendiri. Sambil tengadah, dia berteriak dengan suara keras. Entah marah,entah sedih, entah kesal. Lalu dia turun dari motornya dan berlari ke pinggir jalan. Arah pandangnya mengikuti laju mobil yang dikendarai Bimo. Matanya membasah. 

Jane terbelalak. Ha?! Hendrokah itu? Dia bekerja jadi ojol? Bukankah lelaki itu pernah mengatakan ingin berpisah dengan Aira karena ingin berhenti jadi sopir?

Jane sungguh tak mengerti. Mengapa lelaki itu berani menuai badai di usia senjanya. Mengapa harus melukai Aira yang sudah menyertai hidupnya hingga saat ini.

Perlahan Jane meninggalkan tempat itu. Semilir angin senja menyertai hatinya yang pilu.

Tasikmalaya, 16 Mei 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun