Kusuguhkan kopi kesukaannya. Aku sedikit berlama-lama di mejanya, tak segera kembali ke pantry.
"Iya, benar, Pak," jawabku seraya tersenyum.
Sejenak aku bingung menenangkan hatiku yang meronta-ronta. Wajah yang kurindu itu menatapku lekat-lekat. Membuat bola mataku bertumbuk dengannya.
"Saya Arsyad," katanya lagi tanpa menyodorkan tangan. Hanya anggukan, tatap mata, dan senyum yang menyertainya.
"Mm... saya Mina," kuikuti caranya berkenalan.
"Siapa yang merancang caf ini? Benar-benar tata ruangnya sangat berkesan," lanjutnya.
"Saya dibantu ibu, Pak," jawabku di antara malu dan bahagia.
Sejak itu, kami jadi lebih sering bertemu dan lebih intens bercakap-cakap. Kurasa, hati kami semakin bertaut.
"Mina, aku membutuhkan pendamping hidup. Juga sangat berharap mendapat ibu sambung untuk anakku. Maukah engkau menjadi istriku?"
Sungguh, Pak Arsyad menyampaikan pertanyaan yang tidak terduga. Â Aku hanya terdiam sebab suaraku tercekat di tenggorokan.
Diraihnya kedua tanganku dengan lembut. Kedua tangannya menggenggam hangat. Tatapnya menembus lorong hatiku yang dipenuhi kerinduan.