Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toksik Egosentris

17 Februari 2023   17:44 Diperbarui: 17 Februari 2023   17:56 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepasang remaja duduk di pojok warung mi ayam. Tidak seperti kebanyakan orang, Emilia, demikian nama yang kubaca pada seragamnya, tidak membuka-buka gawai saat duduk menunggu pesanan. Gawainya tergeletak begitu saja di meja. Kulihat layarnya berkelap-kelip, menyiratkan pesan masuk berkali-kali.

Berbeda dengan Ikram, temannya yang tak lepas dari gawainya. Nama ini juga berhasil kueja dari seragam sekolahnya saat kuperhatikan keberadaan mereka. Sepertinya keduanya sama sepertiku, penyuka mi ayam Kang Cecep.

"Buka, tuh! Dari tadi Sinta ngechat terus!" ujar Ikram seraya mempertegas dengan isyarat kepala. Matanya kembali pada gawai yang dipegangnya. Suara latar game kutangkap dari gawai remaja itu.

"Boleh dong, sesekali aku punya waktu buat me time!" jawab Emilia sedikit ketus.

"Waah... yang lagi pengen me time!" Ikram tergelak dengan nada menggoda. Mukanya dimiringkan mengarah pada wajah teman perempuan di sampingnya.

"Kayaknya puitis banget, deh, Em. Me time with mi Kang Cecep!"

Ikram makin tergelak, sementara Emilia masih cemberut.

Aku yang tengah membuka-buka gawai jadi ikut tersenyum mendengar kelakar mereka.

"Bukannya Sinta bestimu? Ngapain juga dicuekin. Kalian lagi masalah?"

Obrolan mereka terhenti saat datang hidangan yang ditunggu, mi ayam panas, plus toping olahan ayam kecap yang menggugah selera. Aromanya membuat perutku bergejolak. Bagianku juga datang bersamaan dengan hidangan untuk mereka. Kuhirup dulu aromanya sebelum isi mangkok yang menggunung itu kubahas hingga tandas.

"Besti sih, iya. Dalam banyak hal dia emang asyik buat temenan. Cuma ya... itu. Dia mah kalo ngomong, maunya didengerin. Gak boleh disela. Tapi kalau aku yang curhat, eh, dia mah suka ngambil alih. Bukannya nyimak omonganku, malah ngerebut balik curhatan. Jadi aku terus yang harus ngedengerin," katanya sambil mengaduk mi ayam dan menambahkan perasa lainnya.

Kulihat gadis itu menuangkan sambal cabai hingga sesendok penuh. Wuiiih aku bergidik membayangkan lidah yang panas terbakar.

"Lah, cuma itu. Syukur dah, ternyata bukan soal rebutan cowok. Bisa geger kalau itu mah!"

Tawa Ikram sedikit ditahan karena mulutnya penuh dengan mi yang masih panas. Emilia melotot dan mengeluarkan suara geraman yang cukup kentara. Pikiranku terhubung pada suara Selen, harimau milik seorang selebgram kaya raya.

"Apa? Beraninya bilang 'cuma itu'? Kamu sama aja. Ngeselin, tahu!"

Emilia terlihat begitu kesal. Mukanya ditekuk. Matanya melotot. Gerahamnya mengeras. Kutunggu kehebohan yang bakal terjadi. Gadis itu menumpahkan mi ayam panas ke arah tubuh temannya. Bisa juga, gadis itu marah dan pergi meninggalkan mi ayam yang tadi ditunggunya hingga terkantuk-kantuk. Bisa juga, dia menumpahkan sambal cabai sebanyak-banyaknya ke dalam mangkuk temannya.

Pikiran lebayku terhenti begitu saja saat kulihat Emilia memasukkan mi ayam ke dalam mulutnya. Kemarahan belum hilang dari parasnya, namun tidak menyurutkan seleranya untuk menyantap mi ayam. Luar biasa memang karisma Mi Ayam Kang Cecep ini. Mampu menjaga selera meski pelanggannya dalam kondisi marah berat.

"Laki-laki mah gitu! Enggak peka. Gak punya hati. Gak punya simpati dan empati. Egois egosentris! Kebal gak punya rasa. ...."

Emilia masih akan menumpahkan kekesalannya dengan diksi yang dipilihnya dengan tepat. Ini terbukti dengan nada suaranya yang masih meninggi dan penuh tekanan. Sama sekali tidak mengarah pada nada rendah sebagai penanda berhenti bicara. Namun Ikram segera menyela.

"Salah, tuh! Siapa bilang gak punya rasa. Jelas-jelas aku lagi ngerasain nikmatnya mi ayam ini. Aku juga simpati dan empati. Dari tadi aja udah siap-siap nampung mi ayam kamu yang biasanya kebanyakan. Eh, ditunggu-tunggu malah kamu marah-marah. Habis deh, isi mangkok kamu. Tuh, lihat! Busyet!"

"Kamuuu... dasar!" jawab Emilia sambil menatap mangkuknya yang tinggal separuh. Bibir manisnya menyunggingkan senyum hingga mengembang jadi tawa.

Ikram tertawa lepas membuatku menoleh dan ikut tertawa. Cepat-cepat kuluruskan lagi garis bibirku. Sepertinya tidak pantas ikut tertawa pada kelakar yang tidak menyertakanku.

Kedua remaja itu menoleh ke arahku dan mengangguk dengan sopan. Kubalas dengan senang hati. Syukurlah emosi tak membuat mereka lupa sopan santun.

Kulanjutkan menikmati mi ayam sambil membuka-buka layar gawai. Kucoba mengalihkan perhatian. Meski demikian, kupingku tidak lepas dari percakapan mereka.

"Egois tuh kayaknya udah jadi gaya hidup. Mereka mau menang sendiri. Egosentris juga begitu. Keasyikan sama diri sendiiri. Lihat aja. Banyak yang posting ini itu pake aplikasi medsos cuma buat nyari perhatian. Maunya didengar orang tapi gak mau denger pendapat orang lain," tutur Ikram santai. Sesekali terdengar seruputnya memasukkan mi ayam pada lubang bibirnya.

"Beuh, kamu pinter juga. Tapi awas, ini cuma obrolan di sini aja ya. Jangan sampai Sinta tahu. Aslinya dia tuh rapuh banget tapi enak buat jadiin besti. Cuma kalau aku bilang gini, dia tuh lebih gini lagi. Kalau aku tahu sesuatu, dia lebih tahu lagi. Kalau aku bilang sakit, dia cerita yang lebih sakit lagi. Sekali pernah kubantah, widih kayaknya sakitnya nyampe ke ulu hati. Muruung terus. Jadi, aku deh yang rasa bersalah," tutur Emilia. Kali ini nada suaranya terdengar bijak.

"Gakpapa sesekali kamu bantah. Biar temenmu nyadar kalau orang tuh perlu timbal balik. Gak bisa selalu harus jadi pusat perhatian. Biar bangun dan melek, bahwa dunia tak selalu seperti keinginannya. Kalau kamu ngalah terus, berarti selalu siap nelan toksik egosentris. Jangan sampe menderita demi kebahagiaan orang lain. Jaga perasaan orang, tapi ngebiarin perasaanmu terkoyak-koyak."

Mulut Emilia ternganga. Dia melotot tajam ke arah temannya. Kali ini aku yakin, gadis itu tidak sedang marah, tetapi terkagum-kagum atas tuturan bijaknya. Aku melihat tatap sayang pada bulat mata beningnya.

Cepat-sepat kutinggalkan bangku Mi Ayam Kang Cecep. Diam-diam kubayar makanan mereka sekalian. Sebab aku berterima kasih atas pelajaran berharga yang kuterima siang ini.

Mereka tidak tahu, kalau aku menikmati makan sendirian lantaran menghindar dari ajakan makan bareng dengan kawan-kawan lamaku. Mereka, sahabat di masa lalu, selalu paling benar dan hanya mau didengar tanpa mau mendengar kisah perjalananku. Kedua remaja itu membuaku berani keluar dari toksik egosentris.

Tasikmalaya, 17-2-2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun