Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toksik Egosentris

17 Februari 2023   17:44 Diperbarui: 17 Februari 2023   17:56 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kulihat gadis itu menuangkan sambal cabai hingga sesendok penuh. Wuiiih aku bergidik membayangkan lidah yang panas terbakar.

"Lah, cuma itu. Syukur dah, ternyata bukan soal rebutan cowok. Bisa geger kalau itu mah!"

Tawa Ikram sedikit ditahan karena mulutnya penuh dengan mi yang masih panas. Emilia melotot dan mengeluarkan suara geraman yang cukup kentara. Pikiranku terhubung pada suara Selen, harimau milik seorang selebgram kaya raya.

"Apa? Beraninya bilang 'cuma itu'? Kamu sama aja. Ngeselin, tahu!"

Emilia terlihat begitu kesal. Mukanya ditekuk. Matanya melotot. Gerahamnya mengeras. Kutunggu kehebohan yang bakal terjadi. Gadis itu menumpahkan mi ayam panas ke arah tubuh temannya. Bisa juga, gadis itu marah dan pergi meninggalkan mi ayam yang tadi ditunggunya hingga terkantuk-kantuk. Bisa juga, dia menumpahkan sambal cabai sebanyak-banyaknya ke dalam mangkuk temannya.

Pikiran lebayku terhenti begitu saja saat kulihat Emilia memasukkan mi ayam ke dalam mulutnya. Kemarahan belum hilang dari parasnya, namun tidak menyurutkan seleranya untuk menyantap mi ayam. Luar biasa memang karisma Mi Ayam Kang Cecep ini. Mampu menjaga selera meski pelanggannya dalam kondisi marah berat.

"Laki-laki mah gitu! Enggak peka. Gak punya hati. Gak punya simpati dan empati. Egois egosentris! Kebal gak punya rasa. ...."

Emilia masih akan menumpahkan kekesalannya dengan diksi yang dipilihnya dengan tepat. Ini terbukti dengan nada suaranya yang masih meninggi dan penuh tekanan. Sama sekali tidak mengarah pada nada rendah sebagai penanda berhenti bicara. Namun Ikram segera menyela.

"Salah, tuh! Siapa bilang gak punya rasa. Jelas-jelas aku lagi ngerasain nikmatnya mi ayam ini. Aku juga simpati dan empati. Dari tadi aja udah siap-siap nampung mi ayam kamu yang biasanya kebanyakan. Eh, ditunggu-tunggu malah kamu marah-marah. Habis deh, isi mangkok kamu. Tuh, lihat! Busyet!"

"Kamuuu... dasar!" jawab Emilia sambil menatap mangkuknya yang tinggal separuh. Bibir manisnya menyunggingkan senyum hingga mengembang jadi tawa.

Ikram tertawa lepas membuatku menoleh dan ikut tertawa. Cepat-cepat kuluruskan lagi garis bibirku. Sepertinya tidak pantas ikut tertawa pada kelakar yang tidak menyertakanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun