Kedua remaja itu menoleh ke arahku dan mengangguk dengan sopan. Kubalas dengan senang hati. Syukurlah emosi tak membuat mereka lupa sopan santun.
Kulanjutkan menikmati mi ayam sambil membuka-buka layar gawai. Kucoba mengalihkan perhatian. Meski demikian, kupingku tidak lepas dari percakapan mereka.
"Egois tuh kayaknya udah jadi gaya hidup. Mereka mau menang sendiri. Egosentris juga begitu. Keasyikan sama diri sendiiri. Lihat aja. Banyak yang posting ini itu pake aplikasi medsos cuma buat nyari perhatian. Maunya didengar orang tapi gak mau denger pendapat orang lain," tutur Ikram santai. Sesekali terdengar seruputnya memasukkan mi ayam pada lubang bibirnya.
"Beuh, kamu pinter juga. Tapi awas, ini cuma obrolan di sini aja ya. Jangan sampai Sinta tahu. Aslinya dia tuh rapuh banget tapi enak buat jadiin besti. Cuma kalau aku bilang gini, dia tuh lebih gini lagi. Kalau aku tahu sesuatu, dia lebih tahu lagi. Kalau aku bilang sakit, dia cerita yang lebih sakit lagi. Sekali pernah kubantah, widih kayaknya sakitnya nyampe ke ulu hati. Muruung terus. Jadi, aku deh yang rasa bersalah," tutur Emilia. Kali ini nada suaranya terdengar bijak.
"Gakpapa sesekali kamu bantah. Biar temenmu nyadar kalau orang tuh perlu timbal balik. Gak bisa selalu harus jadi pusat perhatian. Biar bangun dan melek, bahwa dunia tak selalu seperti keinginannya. Kalau kamu ngalah terus, berarti selalu siap nelan toksik egosentris. Jangan sampe menderita demi kebahagiaan orang lain. Jaga perasaan orang, tapi ngebiarin perasaanmu terkoyak-koyak."
Mulut Emilia ternganga. Dia melotot tajam ke arah temannya. Kali ini aku yakin, gadis itu tidak sedang marah, tetapi terkagum-kagum atas tuturan bijaknya. Aku melihat tatap sayang pada bulat mata beningnya.
Cepat-sepat kutinggalkan bangku Mi Ayam Kang Cecep. Diam-diam kubayar makanan mereka sekalian. Sebab aku berterima kasih atas pelajaran berharga yang kuterima siang ini.
Mereka tidak tahu, kalau aku menikmati makan sendirian lantaran menghindar dari ajakan makan bareng dengan kawan-kawan lamaku. Mereka, sahabat di masa lalu, selalu paling benar dan hanya mau didengar tanpa mau mendengar kisah perjalananku. Kedua remaja itu membuaku berani keluar dari toksik egosentris.
Tasikmalaya, 17-2-2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H