Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bahagia bersama Mendulang Karya

13 Februari 2023   21:40 Diperbarui: 13 Februari 2023   22:00 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Menulis puisi, Bu? Aduh, apa sih manfaat puisi itu?"

"Waduh, kenapa harus puisi?"

"Asyiik, bikin puisi!"

"Sip, Bu! Kita kan tidak hanya menata produk, tapi menata kata biar jadi puisi!"

"Lah, Ibu, saya mending nulis resume daripada bikin puisi!"

Itu hanya sebagian kecil tanggapan siswa saat tiba pada kompetensi memahami dan memproduksi puisi.

Setiap memulai kompetensi dasar baru, setelah apersepsi, saya biasa mengundang pendapat siswa sekaitan dengan kesan dan tanggapan terhadap materi yang akan dibahas. Pada sesi ini, siswa diperbolehkan menyampaikan pendapat secara bebas: suka atau tidak suka, berminat atau tidak, tanpa perasaan canggung atau takut 'dicirian' (ditandai) oleh guru.

Jujur, sesi inilah yang menjadi cercah cahaya utama yang mampu membangkitkan semangat dalam melakukan pembelajaran. Bahkan, jika jumlah siswa yang tidak berminat menulis puisi lebih banyak daripada yang berminat, justru bakal jadi tantangan menarik. Tantangan yang menuntut saya harus mampu meramu kegiatan pembelajaran yang memiliki daya magnetis. Syukur-syukur jika siswa mampu membuktikan hasil belajar dengan lebih baik.

Langkah selanjutnya, saya mempraktikkan gaya konvensional. Siswa diminta langsung menulis puisi dengan tema bebas dalam waktu dua puluh menit. Sampai di batas waktu, paling hanya 10% siswa yang mampu menulis puisi. Itu pun dengan diksi yang sederhana.

Lalu, siswa diajak bertanya jawab tentang makna yang terdapat pada nama diri masing-masing. Ada siswa mengetahui maknanya, ada pula yang tidak. Lalu siswa ditantang untuk menulis puisi akrostik berdasarkan huruf pada nama masing-masing. Isinya harus bisa menggambarkan siapa, bagaimana, atau harapan yang terkandung dalam nama itu. Jika dalam satu pertemuan ini puisi selesai dibuat, saya berjanji akan menerbitkannya menjadi buku antologi puisi.

Begitu hebatnya semangat para siswa saat mengetahui puisinya bakal diterbitkan. Jika menulis puisi biasanya memerlukan waktu yang lama, ternyata dengan pompa motivasi pencetakan buku, puisi ini selesai dalam waktu dua-tiga jam pelajaran. Bagi saya, ini adalah pencapaian karya yang luar biasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun