senyum Dilla yang tak lekang dari ingatannya. Entah berapa abad tak menjumpai senyum yang berhias lesung pipit itu. Senyum yang kadang memperlihatkan barisan gigi yang berderet rapi. Senyum yang menggerakkan bibir ranum yang selalu berhias kata yang lembut. Senyum yang mengajak mata cerlangnya turut bergerak dan agak menyipit. Betapa segala yang hilang tak tentu rimbanya itu tiba-tiba muncul di depan matanya.
Pagi baru beranjak sepenggalah saat Ardi kembali menjumpai"Neng Dilla? Aduh, makin cantik aja," Ardi tak mampu menahan kata yang ingin dilontarkannya.
"Iya atuh, Aa. Kan makin besar makin bisa dandan. Makin tahu gimana caranya pakai bedak, pakai lipstik, pinsil alis ...," Dilla sengaja menggoda Ardi.
"Neng Dilla udah selesai mesantrennya, eh, kuliahnya?" tanya Ardi lagi.
"Sudah, A. Dilla sudah lulus. Minggu depan mau wisuda. Cuma ...," Dilla seperti ragu.
"Cuma apa, Neng?" Ardi jadi penasaran.
"Cuma... Aa tahu enggak, kabar yang sedang ramai di rumah Dilla?"
"Oh, itu. Iya. Aa tahu," Ardi terlihat murung.
Pemuda tampan yang menjadi pengusaha muda berbakat itu tercenung mengingat kabar yang tak mengenakkan bagi dirinya. Rasa sayangnya yang tulus tak mendapat angin segar dari keluarga besar Dilla. Malah selesai wisuda ini Dilla akan dipertemukan dengan jodoh pilihan orang tuanya.
"Gimana atuh, A?" Dilla bertanya lirih.
"Ya, mau gimana lagi, Neng! Selaku anak, inilah saatnya Neng Dilla menunjukkan sikap patuh dan bakti pada orang tua." Ardi memperlihatkan kebesaran jiwanya.
"Emang Aa tidak mau berusaha bilang sama Ayah?"
"Neng Dilla kan tahu. Udah tiga kali Aa berusaha meyakinkan keluarga Eneng. Sayang, orang tua Neng Dilla terikat perjanjian dengan keluarga calon suami Eneng."
"Iya, A. Duh, maaf ya?"
Ardi hanya mengangguk pelan. Ia tidak ingin menambah beban pikiran kekasih hatinya dengan menyampaikan kekecewaan dirinya. Ia ingin meringankan langkah Dilla untuk menuruti kehendak orang tuanya. Ditelannya rasa sakit hingga tak terlihat secara kasat mata. Ia ingin terlihat tegar. Seberat apa pun beban yang menggelayuti hatinya.
Sejak itu, tempat pertemuan terakhir dengan kekasihnya selalu menjadi tempat persinggahan Ardi saat ia tak bisa menahan kerinduannya. Ia telah melewati malam-malam panjang selama bertahun-tahun hanya karena bayangan Dilla selalu menari-nari di pelupuk matanya. Senyum berlesung pipit itu menjadi pengganti kantuk, penghias malamnya.
Siang itu, saat angin bertiup lembut, Ardi telah duduk di batu ampar yang biasa mereka gunakan untuk bertemu. Ia bahagia karena beberapa bulan terakhir ini bisa berkomunikasi dengan Dilla, walaupun hanya melalui gawai.
"Ya, Neng Dilla, syukurlah kalau keadaanmu baik-baik saja. Aa baru saja beli HP baru biar bisa ngobrol sama Eneng," Ardi tersenyum bahagia. "Lesung pipimu masih ada, kan? Awas, jangan kauhilangkan ya? Karena itulah ciri khas cantikmu yang sesungguhnya."
Ardi mendengarkan jawaban Dilla dengan saksama.
"Oh, anakmu mirip aku? Syukurlah. Pandangi terus ya? Aa juga tak pernah bosan memandangi gambarmu setiap saat. Kalau anakmu tersenyum, berarti ia bahagia. Seperti Aa sekarang. Benar-benar bahagia bisa mendengar suaramu yang selalu kurindukan."
Ardi kembali mengangguk-angguk sambil tertawa senang. Namun tak lama kemudian raut mukanya menampakkan kekecewaan.
"Halo! Halo! Neng, Neng Dilla! Kok putus gak ada suaranya."
Suara Ardi berganti murung. Ia kecewa memandangi papan lapuk yang menurutnya gawai terbaru yang ia gunakan untuk menghubungi kekasihnya.
Segerombolan anak yang sedari tadi mengikutinya tertawa-tawa sambil melempari Ardi dengan kerikil dan ranting kering.
*Repost dari buku kumcer Meramu Cinta
Tasikmalaya, 11-2-2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H