Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waspadai Jemari Sarana Pengundang Petaka

4 Februari 2023   20:35 Diperbarui: 4 Februari 2023   20:43 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis dan merespons tulisan teman merupakan dua hal yang tidak terpisahkan saat kita menjadi penulis di media online. Jika kita berharap tulisan mendapat kunjungan dan respons yang baik dari pembaca, jangan lupa untuk membaca dan menyampaikan respons yang baik pula pada karya tulisan orang lain.

Dari hasil membaca, banyak hal baru yang saya peroleh. Kebiasaan hidup, etika, kondisi lingkungan di tempat lain, baik di dalam maupun di luar negeri, saya peroleh dari berbagai tulisan keren karya Bunda Roselina dan Pak Tjiptadinata. Untuk menambah asupan gizi dalam berpuisi, saya dapatkan dari nano puisi Pak Bambang, puisi cinta dan kehidupan dari Mbak Itha Abimanyu. Cerita renyah nan menawan saya dapat dari tulisan adik saya, Neni Hendriati. Aktivitas berkarya di kelas saya peroleh dari tulisan Pak Widadi dan bapak/ibu guru lainnya. Tentu saja masih banyak lagi karya teman yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu, yang membuat pikiran saya selalu terbarukan.  

Selain mendapat wawasan dan pengetahuan baru, tidak jarang inspirasi untuk menulis muncul dari hasil membaca tulisan teman. Dari tokoh yang muncul ternyata imajinasi saya tergugah hingga membangun alur baru untuk kisah berikutnya. Dari diksi yang menarik, saya kembangkan menjadi untaian kalimat sebagai titian untuk menulis artikel. Dari kritik dan saran, saya buat kolom untuk mengembangkan cara berpikir dalam meninjau sesuatu. Dari kisah perjalanan, saya manfaatkan latar yang detail untuk menulis cerpen. Dari komentar yang muncul, saya catat dan dipilah-pilah agar membuahkan tulisan baru.

Begitulah. Bagi saya, membaca sejatinya memperkaya daya nalar dan daya imajinasi. Membaca membuat saya makin cinta menulis.

Namun satu masalah pernah muncul, mengheboh, dan mengharu biru gegara saking semangat menulis namun abai pada aktivitas jemari.

Waktu itu, di saat puncak-puncaknya jatuh cinta pada giat membaca dan menulis, saya tertarik pada tulisan sahabat yang benar-benar bernas dan mengandung bahan renungan. Dari tulisan beliau, saya turut introspeksi agar mampu memperbaiki diri. Tentu saja, sebagai bentuk apresiasi, saya menyimpan komentar pada tulisannya yang benar-benar berkualitas.

Makasih Mak. Tulisannya bener-benar kere. Saya jadi ikut introspeksi. Benar-benar suka dengan berondongnya.

Tidak berapa lama, saya mendapat telepon dari beliau. Komentar saya membuatnya marah dan tersinggung. Disampaikannya kalau saya sangat keterlaluan. Sebelum sempat menjawab, telepon telah ditutupnya.

Sambil agak bingung, segera saya meluncur menuju tulisan beliau. Sekaligus untuk meninjau komentar yang saya tulis. Apa salahnya, ya?

Ternyata oh ternyata, komentar saya mengandung tulisan tidak pantas. Satu kata kurang satu huruf dan satu kata lagi mengandung konotasi negatif.

Niat menulis keren, malah jadi kere. Hendak menulis dorongannya, malah jadi berondongnya. Tentu saja beliau marah.
Saya berusaha memahami, mungkin beliau tersinggung karena dalam kehidupan nyata, beliau baru saja menikah (lagi) dengan mantan mahasiswanya. Karena kedekatan dengan saya, beliau pernah curhat, keputusannya untuk menikah dengan mahasiswanya menuai sikap kontroversi dari putra-putrinya, juga dari keluarga besarnya. Meski pada akhirnya, semua anggota keluarga bisa menerima dengan baik.

Aduduh... gegara tulisan itu, pertemanan diputuskan. Permintaan maaf saya tidak digubris. Penjelasan saya tidak diterima, meski sudah disampaikan dengan sebenar-benarnya dan tanpa paksaan dari siapa pun.

Ya, sudahlah. Saya terima sebagai bentuk kelalaian saya dalam mengontrol jemari. Terlalu asyik hingga abai pada kata yang terunggah.

Qadarullah, dua tahun kemudian kami baru bisa bertemu lagi. Tentu saja saya sempatkan untuk menyampaikan lagi permintaan maaf karena masalah itu. Alhamdulillah, akhirnya beliau memaafkan dan memahami kekeliruan saya. Sungguh lega, bahagia tak terkira.

Karena itulah, sangat penting bagi kita untuk membaca ulang tulisan dan menyuntingnya jika perlu, kalau-kalau terdapat kata yang kurang pantas. Jangan sampai jemari kita menjadi sarana pengundang petaka. Mencegah kesalahpahaman sejak awal menulis itu lebih baik daripada menyesalinya di kemudian hari.

 

 Tasikmalaya, 4 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun