"Sebenarnya saya juga dengar kata tetangga, enggak baik saya tinggal sama abang. Malah harusnya saya segera keluar dari rumah. Tapi saya harus pergi ke mana karena tidak punya orang tua," tutur Lia.
Bulir bening mulai melewati kelopak matanya.
"Lia punya saudara dari ibu atau dari ayah?" kulanjutkan pertanyaan agar cepat menuju pokok permasalahan.
"Punya, Pak. Bibi juga sudah ngajak saya tinggal di rumahnya. Cuma ...," Nahlia menunduk dan menggantung kalimatnya.
"Cuma apa?"
Aku tidak bisa menunda rasa penasaran yang membuncah di dada.
"Cuma... kalau saya ikut bibi, kasihan abang sama putranya. Nanti siapa yang bakal bikin nasi? Siapa yang nyuci baju? Gimana kalau ponakan saya sakit?"
Kulihat ketulusan pada bening matanya dan kejujuran pada setiap ucapannya. Halus dan lembut perasaannya. Pantaslah dia mendapat panggilan 'Bunda' di kelasnya. Parasnya yang ayu semakin elok dengan tabiatnya yang lembut hati.
Pelan-pelan kuberi pengertian baik buruknya jika tetap serumah dengan kakak iparnya. Kuberi semangat juga agar Nahlia siap hidup bersama bibinya. Kuberi waktu untuk memikirkannya.
Sejak itu Nahlia sering bolong-bolong masuk sekolah. Dalam seminggu ada saja alasan tidak masuk. Perasaanku mulai tak karuan mengetahui dari temannya kalau Lia sibuk mengurus keponakannya. Dia sering absen karena kedua ponakannya sakit bergantian.
Kuintensifkan perhatian dan bimbingan untuknya. Jika masuk sekolah, kubantu Lia menghubungi guru-guru untuk mengerjakan tugas yang belum sempat dikerjakan. Kuminta teman-temannya membantu. Namun ketidakhadiran Lia kian bertambah. Sebulan, dua bulan, anak itu semakin jarang masuk sekolah.