Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bantuan dan Kemudahan Berujung pada Saran yang Mangkus dan Sangkil

24 Januari 2023   20:24 Diperbarui: 24 Januari 2023   20:31 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun sayang, sepeda tak membuatnya makin rajin datang ke sekolah. Ketidakhadiran tanpa alasan semakin bertambah jumlahnya. Saat kutanyakan mengapa tidak masuk, jawabannya karena tidak punya ongkos. Lalu sepeda? Ternyata, sepeda dijual karena dia malu bersepeda ke sekolah.

Makanya, selama ini tidak sekali pun kulihat dia mengendarai sepeda ke sekolah. Padahal, temannya yang bersepeda merupakan siswa berprestasi, jadi KM di kelasnya, dan aktif menjadi pengurus OSIS. Sayang seribu kali sayang, gengsi telah merusak mentalnya.

Jika sekali waktu masuk sekolah, ibunya selalu mengingatkanku melalui gawai, kalau Maul berangkat sekolah belum sarapan. Bahkan dilanjut dengan pertanyaan, apakah anaknya sudah sarapan di sekolah? Khawatir jika perutnya kosong. Dia juga tak punya ongkos untuk pulang. Seakan-akan anak itu diserahkannya menjadi tanggung jawab kami. Kebaikhatian kami dijadikan sandaran utama.

Banyak pepatah mengatakan, jangan beri ikan, tapi berilah kailnya agar dia bisa mencari ikan dengan kail itu. Kuberi sepeda sebagai kailnya. Dia malah mau ikannya saja. Diberi ongkos buat pulang sekolah hari itu dan buat besok pagi berangkat sekolah, eh, besoknya tidak masuk sekolah. Ini ketahuan oleh temannya saat pagi-pagi berikutnya dia berseragam kepergok tengah nongkrong di warung dengan rokok di tangan. Bolos lagi. Lagi dan lagi.

Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa bantuan dan kemudahan yang kami berikan menyebabkan sikapnya jadi manja? Apakah bantuan telah menjerumuskannya dalam ketergantungan? Apakah salah menunjukkan simpati dan empati karena berharap anak itu berhasil menempuh pendidikan? Bagaimana sebaiknya menghadapi orang tua dan anak yang seperti ini?

Dalam situasi seperti itu, kami benar-benar harus memiliki stok kesabaran yang tak terhingga. Tentu saja, sambil terus belajar dan berikhtiar mencari cara bijak untuk menghadapinya.

Adakah saran yang mangkus dan sangkil?

Tasikmalaya, 24 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun