Oleh: Teti Taryani
Kesalahanku adalah terlalu menghayati semua yang kusaksikan. Terlalu membawa perasaan pada setiap langkah dan tugas yang kujalani. Teramat simpati pada segala ekspresi dan keluh kesah yang kulihat dan kudengar.
Begitulah. Setelah dua kali home visit pada Maul karena pada bulan pertama semester kesatu jarang masuk sekolah, maka menjelang bulan kedua kucari rumahnya dan kulakukan home visit untuk mengetahui kebenaran alasan ketidakhadirannya di sekolah. Ternyata anak ini setiap hari berangkat dari rumah namun tak pernah sampai di kelas.
Kumanfaatkan kunjungan itu untuk menyimak paparan perjalanan hidup keluarga yang berputra lima dengan kondisi yang sangat sederhana ini. Sungguh, aku terhanyut dalam keprihatinan. Satu putra sulungnya, drop out dari SMK. Satu anak perempuannya dalam kondisi berkebutuhan khusus. Dua lagi saat ini masih duduk di kelas tiga dan lima sekolah dasar.
Sementara itu, ayahnya yang belum mencapai usia lima puluh tahun, tidak bekerja. Kalaupun mendapat pekerjaan entah memperbaiki genting, menyabit rumput, hanya sekali-sekali saja. Kesehariannya hanya nongkrong di gardu tempat ronda atau di pinggir jalan. Yang dilakukan hanyalah menghamburkan obrolan yang tak berujung. Istrinya jadi pekerja harian membantu tetangganya. Dengan penghasilan dua puluh ribu rupiah sehari, mereka menjalani hidup yang penuh halang rintang.
Meski aku tahu, baperan sebenarnya perbuatan tak berguna, nyatanya aku tak bisa menghentikan rasa simpati dan empati yang muncul tak terbendung sebagaimana air yang berdesakan keluar dari lubang yang tersumbat. Kucoba mencari langkah agar Maul tidak putus sekolah sebagaimana nasib yang menimpa kakaknya.
Kucari solusi dengan membawa masalah ini ke ranah obrolan dengan rekan sejawat. Karena rekanku rata-rata berhati emas, banyaklah yang ikut bersimpati dan menyumbang rupiah, lalu dikumpulkan hingga bisa digunakan untuk membayar biaya sekolah berkaitan dengan keperluan seragam dan kelengkapannya. Sebagian dana disisihkan dan digunakan untuk bekalnya sehari-hari.
Berdasar cerita yang kusampaikan, paksu orang terdekatku, tergerak hatinya untuk menyumbangkan sepeda yang sangat layak pakai untuk membantu mengatasi ketiadaan ongkos untuk menuju sekolah. Sepeda itu biasanya dipakai paksu untuk berolahraga.
Jarak tempuh dari rumah Maul ke sekolah sekira tiga kilometer. Selain hemat ongkos, sepeda akan membantunya menjadi siswa yang sehat dan kuat. Beberapa orang temannya yang bertempat tinggal tak jauh dari rumahnya, juga menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi ke sekolah.
Namun sayang, sepeda tak membuatnya makin rajin datang ke sekolah. Ketidakhadiran tanpa alasan semakin bertambah jumlahnya. Saat kutanyakan mengapa tidak masuk, jawabannya karena tidak punya ongkos. Lalu sepeda? Ternyata, sepeda dijual karena dia malu bersepeda ke sekolah.
Makanya, selama ini tidak sekali pun kulihat dia mengendarai sepeda ke sekolah. Padahal, temannya yang bersepeda merupakan siswa berprestasi, jadi KM di kelasnya, dan aktif menjadi pengurus OSIS. Sayang seribu kali sayang, gengsi telah merusak mentalnya.
Jika sekali waktu masuk sekolah, ibunya selalu mengingatkanku melalui gawai, kalau Maul berangkat sekolah belum sarapan. Bahkan dilanjut dengan pertanyaan, apakah anaknya sudah sarapan di sekolah? Khawatir jika perutnya kosong. Dia juga tak punya ongkos untuk pulang. Seakan-akan anak itu diserahkannya menjadi tanggung jawab kami. Kebaikhatian kami dijadikan sandaran utama.
Banyak pepatah mengatakan, jangan beri ikan, tapi berilah kailnya agar dia bisa mencari ikan dengan kail itu. Kuberi sepeda sebagai kailnya. Dia malah mau ikannya saja. Diberi ongkos buat pulang sekolah hari itu dan buat besok pagi berangkat sekolah, eh, besoknya tidak masuk sekolah. Ini ketahuan oleh temannya saat pagi-pagi berikutnya dia berseragam kepergok tengah nongkrong di warung dengan rokok di tangan. Bolos lagi. Lagi dan lagi.
Aku jadi bertanya-tanya. Mengapa bantuan dan kemudahan yang kami berikan menyebabkan sikapnya jadi manja? Apakah bantuan telah menjerumuskannya dalam ketergantungan? Apakah salah menunjukkan simpati dan empati karena berharap anak itu berhasil menempuh pendidikan? Bagaimana sebaiknya menghadapi orang tua dan anak yang seperti ini?
Dalam situasi seperti itu, kami benar-benar harus memiliki stok kesabaran yang tak terhingga. Tentu saja, sambil terus belajar dan berikhtiar mencari cara bijak untuk menghadapinya.
Adakah saran yang mangkus dan sangkil?
Tasikmalaya, 24 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H