Entah berapa lama aku membujuk Ray. Namun hingga malam semakin menua, belum menunjukkan tanda-tanda kesepakatan. Karena kesal, aku pun keluar rumah dan mengendarai motorku membelah malam secepat yang aku bisa. Tujuanku hanya satu, menjauh dari Ray. Entah mengapa lama-lama tubuhku terasa begitu ringan dan kecepatan motorku tak bisa kukendalikan. Aku terjatuh dan tak kuingat apa-apa lagi.
Aku bingung saat terbangun entah di mana. Begitu gelap dan berkabut. Dingin dan hampa. Lengang dan kosong. Rasa takut mulai merayapi tubuhku. Desau pucuk bambu menimbulkan suasana mistis. Pandanganku kabur. Aku sendiri didera suasana mencekam.
"Ray! Ray!"
Berulang kuteriakkan namanya. Saat ini aku benar-benar mengharap kehadirannya.
"Mengapa memanggilku? Bukankah kauingin aku pergi?" Tetiba suaranya menyentuh telingaku.
"Tidak! Jangan! Aduh, mengapa aku di sini?" tanyaku kebingungan.
"Kamu udah nyampe. Inilah tempatmu sekarang," jawabnya tak acuh.
"Jangan main-main Ray! Aku mau pulang. Antarkan sekarang!" Entah mengapa aku jadi panik sendiri.
Ray membawaku pulang ke rumah. Aku terpana melihat ayah ibuku menangis sedih di tengah orang-orang yang duduk memenuhi ruang tengah. Sepertinya mereka sedang asyik membaca buku kecil serupa majmu.
Kuhampiri ibu hendak kupeluk. Tetapi aku tak bisa menyentuhnya dan ibu tak melihat kedatanganku.
Kutatap Ray. Aku mengiba meminta penjelasannya. Dia hanya mengangkat bahu dan bergerak melayang meninggalkanku.